Hidayatullah.com—Penolakan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 makin meluas. Setelah banyak ormas menentang, kali ini #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) juga menolak Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.
Dalam pernyataan sikapnya pada Selasa (09/11/2021) sore, komunitas yang konsisten menentang pemikiran liberal sejak 2012 ini menyatakan penolakannya yang tegas terhadap peraturan yang dipandang membawa nilai-nilai yang sangat bertentangan dengan norma, Pancasila dan agama itu.
Berikut ini adalah teks lengkap pernyataan sikap tersebut.
PERNYATAAN SIKAP #INDONESIATANPAJIL
Nomor : 02/PR/ITJ/XI/2021
TERKAIT PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI RI NO 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabaraakatuh
Pemerintah melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 yang ditandatangani Mendikbud Ristek pada tanggal 31 Agustus 2021 bertujuan sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma. Berdasarkan kajian kritis terhadap Permendikbud Ristek no 30 Tahun 2021, #IndonesiaTanpaJIL merasa perlu memberikan beberapa catatan penting sebagai berikut :
Pertama. Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 sangat kentara selaras dengan draft Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) lama yang telah ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat beserta DPR periode 2014-2019. Penolakan RUU P-KS di DPR periode 2019 itu disebabkan RUU tersebut bertentangan dengan landasan moralitas Bangsa Indonesia, yang mana nafas utamanya yakni Pancasila, khususnya yang ada pada Sila Pertama dan Kedua (sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dan ‘Kemanusiaan yang Adil dan beradab’).
Kedua. Akibat dari pengadopsian draf lama RUU P-KS, maka jelas Permendikbud Ristek no 30 tahun 2021 memiliki landasan filosofis dengan paradigma sexual-consent. Paradigma consent inilah yang nanti implikasinya adalah bahwa aktivitas seksual yang dianggap salah yaitu semata-mata apabila aktivitas tersebut tidak diiringi dengan persetujuan dari pelaku.
Padahal walaupun melibatkan persetujuan dari pelaku, perbuatan tersebut tetap bisa bertentangan dengan landasan moralitas bangsa Indonesia. Contoh nyatanya adalah perzinahan yang diiringi dengan konsen / persetujuan, persetujuan untuk membuat konten-konten porno, persetujuan berhubungan sesama jenis, dll.
Hal-hal ini jelas memperuncing dekadensi moral generasi bangsa yang berlandaskan Pancasila.
Ketiga. Definisi Kekerasan Seksual dalam Permendikbud no 30 tahun 2021 tersebut, terkhusus Pasal 1, sangat jelas menggunakan perspektif Feminis Radikal. Padahal, terminologi-terminologi tersebut tidaklah netral, tetapi berakar dari pemikiran Marxis yang cenderung antipati terhadap nilai-nilai agama. Ini bukti bahwa Permendikbud 30 tidak selaras dengan Pancasila.
Keempat. Tidak bisa dipungkiri adanya peran keluarga serta penanaman nilai moral dan agama memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencegahan sekaligus penanganan terjadinya kejahatan seksual. Akan tetapi, dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, Permendikbud Ristek tidak memberikan ruang yang memadai untuk keterlibatan keluarga serta penguatan nilai-nilai moral dan agama di lingkungan pendidikan tinggi.
Kelima. Masyarakat masih menaruh kepercayaan pada Kemendikbud sekaligus Rektorat di seluruh perguruan tinggi di Indonesia sebagai pihak-pihak yang paling peduli terhadap moralitas Bangsa Indonesia dan tentunya juga memuliakan nilai Pancasila, khususnya sila Pertama sebagai landasan penyelamatan adab generasi muda ke depan.
Karena itu, kami yakin betul bahwa Kemendikbud akan mengambil langkah penanganan yang baik dan benar untuk kejahatan seksual di ranah pendidikan. Kami pun yakin Kemdikbud tidak mengadopsi pemikiran feminis radikal yang hanya akan mereduksi terjadinya kejahatan berdasarkan ada atau tidaknya konsen (persetujuan) belaka.
Besar harapan kami, Permendikbud no 30 tahun 2021 tersebut dapat dicabut untuk kemudian diganti dengan aturan yang sesuai norma / agama di masyarakat Indonesia yang memegang teguh prinsip Ketuhanan yang Maha Esa dan juga Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Terlebih Pasal 3 dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tujuan pendidikan nasional sebagai “…mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Jakarta, 9 November 2021
Koordinator Pusat #IndonesiaTanpaJIL
Randy Iqbal