Hidayatullah.com — Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel Dr KH Ruslan Wahab MA, mengungkap akan mengadakan focus group discussion (FGD) terkait fatwa uang panai dalam waktu dekat ini.
“Dengan pertimbangan dalil nantinya kita harapkan terjadi kemudahan dan kemaslahatan bersama di masyarakat terutama tentang uang panai. Intinya kita berupaya untuk menciptakan kemudahan dan kemaslahatan di masyarakat,” ungkap KH Ruslan Wahab ketika menjelaskan alasan MUI berencana menggelar FGB terkait fatwa uang panai, Rabu (8/6/22).
Uang panai, atau yang biasa disebut juga panaik, adalah salah satu adat suku Bugis Makassar ketika hendak melangsungkan proses pernikahan. Uang panai sendiri diartikan sebagai pemberian harta benda oleh calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita.
Ruslan mengingatkan masyarakat, bahwa dalam Islam pernikahan harus dimudahkan. Ia juga menyebut tingginya uang panai, berdasarkan pada adat semata.
“Hanya adat-lah yang menginginkan seperti itu,” ungkapnya.
Ruslan Wahab juga mengomentari berita kasus kriminal baru-baru ini, yang diduga lantaran uang panai di Kabupaten Maros beberapa hari lalu.
“Tingginya uang panaik dan keinginan menikah yang kuat menyebabkan lelaki tersebut mencuri. Ini sangat disayangkan,” ujarnya.
Ruslan juga berharap agar masyarakat memberi kemudahan uang panai sehingga tidak terjadi lagi hal seperti ini.
Sebelumnya diberitakan, calon pengantin pria berinisial Nr di Sulawesi Selatan (Sulsel) diamankan oleh aparat kepolisian karena diduga mencuri barang milik Polda Sulsel. Pelaku beralasan bahwa ia melakukan tindak kriminalnya demi memenuhi uang panai.
Kapolsek Biringkanaya, Kompol Andi Alimuddin menyebut Nr mengambil 63 batang besi senilai Rp 200 juta milik Markas Polda Sulsel. Nr sendiri pernah bekerja sebagai pekerja bangunan di Mapolda Sulsel.
“Yang bersangkutan pekerja di Polda dan memang sudah dipecat,” kata Andi Alimuddin, Rabu (8/6/2022).
MUI melalui laman resminya, menekankan bahwa mahar dan uang panai adalah berbeda. Uang panai merupakan tradisi Bugis-Makassar sebagai uang belanja untuk semua kebutuhan resepsi pernikahan, sedangkan mahar adalah uang atau barang yang dipegang oleh istri dan menjadi hak mutlak bagi dirinya.
Peneliti Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Jakarta, Nysa Riskiah Lakara, memaparkan, tradisi uang panai yang menjadi adat di Sulawesi Selatan, tidak dijelaskan didalam al-Qur’an, Tafsir al-Misbah maupun dalam agama Islam, yang ada adalah mahar.
Walaupun pemberian uang panai tidak diatur secara gamblang dalam hukum Islam, ujar Nysa, namun pemberian uang panai sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut dan selama hal ini tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at maka hal ini diperbolehkan.
“Mahar dan uang panai merupakan dua perbedaan yang tidak bisa disatukan, jika mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki pada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah maka uang panai adalah uang panai’ atau uang belanja untuk pengantin mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria merupakan tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan,” ungkapnya.*