Jika etos puasa ditunaikan dan diterapkan secara sungguh-sungguh, budaya konsumerisme, pembengkakan anggaran, dan pemborosan bisa dikontrol
Hidayatullah.com | SUDAH jamak diketahui di kalangan umat Islam, bahwa puasa adalah ibadah yang memiliki subtansi nilai: pengendalian diri. Namun, pada praktinya, mengapa pada bulan suci, misalnya di Indonesia, budaya konsumtif kian tinggi dan pengeluaran kebanyakan keluarga muslim jadi membengkak?
Terlebih, ketika sudah memasuki akhir-akhir Ramadhan menjelang lebaran, budaya konsumtif semakin menjadi-jadi?
Bulan yang seharusnya menjadi momentum pengendalian syahwat, malah nafsu menjadi semakin kuat. Momentum yang seyogianya bisa mengikis budaya konsumerisme, malah di sana-sini pasar-pasar menjadi ramai menyediakan pernak-pernik menggiuarkan yang membuat orang puasa makin sulit menghindarinya.
Penulis tidak hendak menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja, pada tulisan ini, tertarik mengajak pembaca sekalian belajar etos puasa dari seorang bernama Syibl Al-Madari.
Suatu kisah terkait puasa yang ditulis oleh Abu Nu’aim al-Ashbahany dalam bukunya yang berjudul “Hilyatul Auliyā wa Thabaqātul Ashfiyā” (1974: XII/161).
Suatu hari, Syibl sangat ingin makan daging.
Alhamdulillah, kemudian ia bisa mendapatkannya. Sayangnya, ketika daging itu dibawa, tiba-tiba ada burung rajawali yang menyambarnya.
Daging itu pun dirampas secara paksa dari Syibl. Yang menarik adalah sikap Syibl ketika keinginannya kandas di tengah jalan.
Apa dia mengutuk rajawali atau marah-marah tak jelas karena keinginannya sudah menjadi angan-angan? Sama sekali tidak.
Dia tidak marah, tidak mencari-cari kesalahan atau mengutuk burung yang merampas dagingnya, justru ia berniat untuk menjalankan puasa. Tak hanya, itu ia juga memutuskan untuk pergi ke masjid. Dengan cara ini, ia mampu mengontrol keinginannya yang sebelumnya telah gagal total.
Di sudut lain, burung rajawali yang tadinya merubut daging terbang dengan girang. Ketika posisinya berada tepat di atas rumah Syibl, rupanya ada rajawali lain yang mengincar daging yang dibawanya. Terjadilah persengketaan antar burung rajawali itu sehingga daging itu jatuh di pangkuan istri Syibl.
Rasanya seperti mendapar rezeki yang turun dari langit kalau dibayangkan di tengah kondisi yang memang keluarga Syibl menginginkan daging. Sejurus kemudian, dimasaklah daging itu oleh istri Syibl.
Setelah itu, daging itu disajikan di meja makan. Sang istri tinggal menunggu kedatangan suami.
Sepulangnya dari masjid, Syibl terhenyak kaget. Saat ia melihat dengan mata kepalanya ada daging yang siap santap. “Dari mana kamu mendapatkan daging ini?” dengan raut muka kebingungan. Sang istri pun kemudian menjelaskan duduk perkaranya secara kronologis. Daging itu didapat dari perebutan dua rajawali yang sedang berada di atas rumahnya.
Mendengar penjelasan istri, mata Syibl berkaca-kaca. Dalam tangisan itu ia menyempatkan diri berkomentar:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَنْسَ شِبْلًا وَإِنْ كَانَ شِبْلٌ يَنْسَاهُ
“Segala puji bagi Allah yang tidak pernah melupakan Syibl, meskipun Syibl melupakan-Nya.”
Kisah Syibl ini mengandung banyak pelajaran. Di antaranya: Pertama, Allah akan memberi apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.
Ketika pertama kali Syibl dikuasai keinginan untuk memperturuti hawa nafsunya memakan daging, hal itu tidak jadi karena dirampas burung. Ketika dia sudah tidak dikuasai kenginan, justru di situ Allah memberi yang dibutuhkan.
Kedua, saat daging direbut rajawali, Syibl tidak semakin memperturutkan hawa nafsunya untuk mencari daging. Akan tetapi, dia lebih memilih berpuasa. Sebagaimana diketahui bahwa puasa adalah ibadah pengendalian diri. Selain itu, ia juga pergi ke masjid untuk mengadukan masalahnya kepada Allah.
Dengan puasa ini, jiwa Syibl lebih terkendali dan nafsunya bisa dikontrol sehingga ia tak diperbudak oleh keinginan melampiaskan. Demikian halnya nilai penting dalam puasa.
Pada yang halal saja mampu menahan diri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, apalagi menahan diri dari yang haram, tentu sangat mampu. Syibl berhasil melampaui itu.
Ketiga, dengan memilih berpuasa dan ke masjid, itu berarti melatih kesabaran Syibl. Puasa sendiri juga mengajarkan etos kesabaran. Tidak mungkin ia berhasil berpuasa, kalau tidak bisa bersabar. Tidak salah jika bulan puasa disebut syahrush shabri (bulan kesabaran).
Keempat, ibadah puasa itu istimewa. Makanya, dalam ketarangan salah satu hadits, ganjaran orang puasa dirahasiakan; hanya Allah yang tahu. Ketika Syibl memilih berpuasa ketika mendapatkan masalah, dan berusaha mengadukan masalahnya kepada Allah di masjid, maka jangan heran ketika daging yang sebelumnya diidam-didamkannya kemudian kandas, lalu secara mengejutkan sudah ada dalam kondisi sudah dimasak saat dia pulang ke rumah.
Kelima, Syibl mengajarkan kepada pembaca nilai syukur dan merendahkan diri di hadapan Allah. Sebagai manusia biasa, mungkin ketika ada masalah hatinya tak ingat Allah, atau menyesali keadaannya.
Namun, dengan melihat respon Syibl sejak awal ketika daging itu direbut, pembaca bisa melihat bahwa Syibl tak mau dikuasai rasa geram dan penyesalan itu. Ia lebih memilih untuk mengendalikan diri dan lebih dekat kepada Allah.
Ketika akhirnya ia mendapatkan yang dinginkan dengan jalan yang tak disangka-sangka, ia tak mau bereuforia. Yang dilakukannya pertama kali adalah bersyukur kepada Allah, bahkan menangis. Meski manusia kebanyakan sering melupakan Allah, tapi Dia tak pernah melupakan mereka.
Jika etos puasa yang ditunaikan oleh Syibl Al-Maday ini diterapkan secara sungguh-sungguh dalam momentum puasa, kemungkinan budaya konsumerisme, pembengkakan anggaran, pemborosan dan berbagai pengeluaran yang meledak di bulan suci Ramadhan bisa dikontrol dengan baik dan bisa lebih khidmat menuju esensi puasa: pengendalian diri.*/Mahmud Budi Setiawan