Hidayatullah.com– Anggota yang sudah lama bertugas banyak yang mengundurkan diri dan uang insentif besar tidak mampu mengisi kekosongan yang ditinggal personel kepolisian Hong Kong. Instansi keamanan warga Hong Kong yang dulu dikagumi dan disegani itu sekarang citranya memburuk, dianggap kaki tangan pemerintah opresif yang tunduk kepada Beijing sejak kerap menghajar dan menangkap para pengunjuk rasa.
Kevin Wan (bukan nama asli, untuk menjaga keselamatannya), berusia 40-an, mengundurkan diri dari kepolisian Hong Kong setelah berkarier lebih dari dua dekade.
“Saya tidak lagi merasa bangga menjadi bagian dari kepolisian. Mereka kehilangan rasa misi untuk melayani masyarakat dan menegakkan keadilan,” kata Wan. “Saya tidak ingin berubah menjadi seseorang yang saya benci.”
Reputasi kepolisian Hong Kong, yang pernah disebut sebagai yang terbaik di Asia, merosot tajam setelah tindakan keras dan bahkan brutal terhadap aksi-aksi protes massal anti-pemerintah pada 2019. Wan mengatakan dia merasa tidak nyaman menjadi bagian dari instansi yang menggunakan langkah-langkah keras untuk menghadapi warga biasa.
Awal bulan ini, kepolisian mengumumkan pelonggaran persyaratan untuk menjadi anggota kepolisian seperti batas tinggi tubuh dan berat badan. Kandidat sekarang diperbolehkan memakai kacamata atau lensa kontak untuk tes mata, dan mereka yang gagal dalam ujian publik juga dapat mengikuti tes tertulis bahasa Mandarin dan Inggris yang dibuat oleh kepolisian sebagai gantinya.
Wan, yang sudah bermigrasi ke luar negeri, mengaku tidak heran jika pihak kepolisian harus memperingan persyaratan rekrutmen karena jumlah pelamar yang semakin sedikit.
“Setelah gelombang protes, polisi menjadi sasaran kebencian di masyarakat. Banyak dari kami (polisi, red) memiliki citra diri yang rendah karena orang malu bergaul dengan kami,” cerita Wan perihal sesama masih menjadi polisi, seperti dikutip The Guardian Kamis (18/5/2023).
Langkah baru itu diambil setelah upaya-upaya sebelumnya untuk menarik minat masyarakat mendaftar sebagai polisi kurang membuahkan hasil. Pada tahun 2022, polisi mencabut persyaratan yang mengharuskan pelamar sudah tinggal di Hong Kong selama tujuh tahun. Upaya lain untuk meningkatkan jumlah personel termasuk menaikkan usia pensiun polisi dari 55 menjadi 60, dan upaya perekrutan yang dijuluki “Never Too Late” guna menarik rekrutan di atas usia 30, menekankan gaji kompetitif, tempat tinggal dan tunjangan kesejahteraan yang mencukupi.
Menurut data resmi, badan pemerintah yang paling banyak posisi lowongnya adalah kepolisian, mencapai 18% per Mei 2022. Ada posisi kosong lebih dari 6.300 pada kuartal pertama 2022, naik dari kuartal sebelumnya yang mencapai 5.706.
Kurun tiga tahun terakhir jumlah rekrutan di kepolisian terus menurun dan tidak pernah mencapai target. Jumlah polisi baru turun dari 43,5% dari target pada 2019-2020, menjadi 36% pada 2021-2022.
Pihak kepolisian mengatakan kesulitan untuk menjaring calon anggota dari kelompok usia 15-29 tahun disebabkan Hong Kong masih dalam pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Namun, para pengamat menilai semakin sedikit jumlah orang yang berminat mendaftar masuk kepolisian karena citra lembaga itu sudah tercemar, dengan tindakan-tindakan represif bahkan brutal terhadap warga masyarakat yang melakukan unjuk rasa. Demonstrasi merupakan bagian kebebasan yang dirasakan oleh warga Hong Kong ketika masih di bawah kekuasaan Inggris. Namun setelah wilayah otonomi itu dikembalikan ke China pada 1997, penduduk Hong Kong merasakan kontrol pemerintah Beijing semakin hari semakin ketat dan keras.
Tangan besi China semakin dirasakan setelah pemberlakuan UU keamanan baru yang dirancang oleh Beijing dan dipaksakan untuk diberlakukan di Hong Kong. Banyak orang yang bersuara menyelisihi pemerintah ditangkap dan dipenjarakan.
“Polisi memiliki citra yang sangat buruk di masyarakat sehingga kehilangan daya tariknya di kalangan anak muda. Siapa yang ingin menjadi polisi ketika seluruh masyarakat memandang rendah profesinya?” kata Prof Chung Kim Wah, seorang ilmuwan sosial yang sebelumnya berkarir di Hong Kong Polytechnic University.
Kevin Wan sendiri mengaku sangat lega karena sudah tidak lagi menjadi bagian rezim represif.
“Meskipun saya harus melepaskan pekerjaan lama saya dan gaji yang bagus, saya merasa merdeka,” ujarnya.*