Hidayatullah.com – Juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaidah, kembali tampil dan menyampaikan pidato pada peringatan satu tahun operasi Taufan Al-Aqsha pada Senin (07/10/2024).
Pria yang selalu memakai keffiyeh ini menyebut bahwa operasi Taufan Al-Aqsha merupakan operasi komando paling sukses dan profesional dalam dunia berkat bantuan Allah SWT.
Serangan tersebut, yang menyasar sistem intelijen dan tempur “Israel”, berhasil mengguncang musuh dan mengubah keadaan, lanjut Abu Ubaidah.
Taufan Al-Aqsha, merupakan sebuah pre-emptive strike sebagai respon terhadap rencana “Israel” yang ingin memusnahkan perlawanan Palestina.
Pre-emptive strike adalah serangan yang dimulai sebagai upaya untuk mengusir atau mengalahkan serangan atau invasi yang dianggap akan segera terjadi, atau untuk mendapatkan keuntungan strategis dalam perang yang akan datang tak lama sebelum serangan itu terjadi.
Berikut ringkasan dan poin penting yang kami kumpulkan dari pidato juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaidah:
“Bismillahirrahmanirrahim,
Keputusan kami untuk menyulut Perang Taufan Al-Aqsha adalah sebuah teriakan di hadapan musuh dan dunia yang diam, konspiratif, dan tak berdaya dalam menghadapi penindasan terhadap rakyat kami. Pemerintah penjajah saat ini, dengan kebencian terorisnya, tidak ingin melihat satu pun orang Palestina di sebelah barat Sungai Yordan. Inilah yang diungkapkan Netanyahu dalam peta yang ia tunjukkan kepada dunia.
Setahun berlalu, para pejuang kami dari semua faksi melanjutkan kegigihan dan perjuangan heroik mereka dengan tekad yang kuat, di setiap jengkal Jalur Gaza. di mana pun ada tentara musuh, kendaraan, atau gerombolan militer, mereka menghadapi pertempuran heroik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Keputusan kami adalah melanjutkan perjuangan, dalam pertempuran yang panjang, menyakitkan dan sangat mahal bagi musuh selama mereka nekat melanjutkan agresi.
Jika pembunuhan adalah sebuah kemenangan, maka perlawanan akan berakhir dengan terbunuhnya Syeikh Izzuddin al-Qassam 90 tahun yang lalu. Namun, perlawanan terus bergulir dan semakin kuat. Jika kebrutalan, penghancuran rumah, dan balas dendam menghentikan perlawanan, para pahlawan Gaza tidak akan mempermalukan musuh di setiap jalan dan lorong di setiap peperangan.
Kami pastikan bahwa operasi yang berlangsung hari ini di wilayah ini, dan partisipasi pasukan-pasukan di Yaman dan Lebanon pada khususnya, merupakan posisi yang terhormat dan dihargai oleh rakyat kami dan hati nurani mereka.
Kami memberi hormat kepada semua pasukan perlawanan di wilayah ini, dan saudara-saudari kami yang merdeka.
Kami yakin dengan keteguhan dan keberanian Hizbullah dalam menimbulkan kerugian besar dan menyakitkan bagi pasukan musuh Zionis, seperti yang dijanjikan oleh syuhada Sayyed Hassan Nasrallah.
Apa yang terjadi hari ini di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem yang diduduki menegaskan bahwa kejahatan musuh di Gaza tidak terkecuali. Ini adalah kebijakan sistematis yang dipraktikkan di mana pun rakyat kami berada, karena pendudukan berusaha untuk menggusur kami dan melenyapkan identitas kami melalui metode pemusnahan secara perlahan.
Rakyat kami tahu bahwa musuh ini hanya memahami bahasa kekerasan, dan bahwa senjata hanya bisa dihadapi dengan senjata. Di Tepi Barat, para pejuang perlawanan kami memberikan pelajaran yang keras kepada musuh, mengingatkan bahwa rakyat kami tidak akan mundur sampai hak-hak mereka dipulihkan.
Kami mengatakan kepada keluarga para tawanan bahwa mereka bisa saja mendapatkan kembali tawanan mereka hidup-hidup setahun yang lalu. Jika hal itu sejalan dengan ambisi dan kepentingan Netanyahu, kesepakatan itu pasti sudah dilakukan. Sejak hari pertama, kami sangat ingin melindungi mereka dan melindungi nyawa mereka.
Tidak masuk akal untuk berniat membunuh atau melukai para tahanan, karena ini bukan bagian dari ajaran agama kami. Apa yang terjadi dengan enam tawanan di Rafah dapat terjadi lagi jika pemerintah Netanyahu terus bersikap keras kepala dan menghalangi kesepakatan pertukaran.
Zionis harus memahami bahwa mereka adalah orang buangan dari penjuru dunia bebas, dan bahwa selubung rasa malu yang diberikan kepada mereka oleh pemerintah Amerika dan beberapa pemerintah Eropa Barat adalah selubung yang berlubang.
Kami bertanya kepada para ulama dan dai dari umat [Islam] kita: Apakah kalian menunggu pagi hari ketika kalian bangun dan mendengar berita penghancuran Masjid Al-Aqsha yang diberkahi, Naudzubillah.
Paling tidak yang harus dilakukan adalah memobilisasi para ulama umat [Islam] untuk memperjelas kebenaran konflik ini, dan memperjelas keabsahan dan kesucian perjuangan kita serta kewajiban jihad untuk mempertahankan Al-Aqsha dan tanah suci kita, jauh dari isu-isu sektarian yang memecah-belah bangsa.”