Hidayatullah.com– Seorang bekas pilot tempur Angkatan Laut Prancis sedang diperiksa oleh pihak berwenang dengan dugaan membagikan informasi militer sensitif kepada pihak China saat menjalani dua lawatan pelatihan ke China.
Pihak kejaksaan mengkonfirmasi bahwa mereka melakukan penyelidikan awal setelah menerima laporan dari Kementerian Angkatan Bersenjata pada 19 Februari.
Laporan itu dimasukkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 40, yang mengharuskan pejabat publik memberitahukan pihak kejaksaan apabila mengetahui (dugaan) tindak pidana.
Pilot tersebut, yang diidentifikasi oleh media Prancis Le Parisien dan Mediapart sebagai Pierre-Henri Chuet, dikabarkan melakukan perjalanan ke China pada bulan September 2018 dan Agustus 2019 untuk memberikan pelatihan kepada pilot-pilot militer China. Kala itu dia masih berdinas di AL Prancis.
Sebuah sumber yang dekat dengan kasus itu mengatakan kepada media Prancybahwa Chuet tidak memberitahukan atasannya perihal perjalanan itu, sebagaimana yang diharuskan oleh peraturan.
Seminar yang dihadirinya dikabarkan diselenggarakan oleh sebuah sekolah penerbang Afrika Selatan, yang membayar Chuet melalui perusahaannya yang berbasis di Inggris, Mach 3 Management. Selama memberikan mengisi sesi pelatihan dia ditemani oleh seorang pilot asal Inggris.
Ketika dikontak AFP, kantor kejaksaan Paris mengkonfirmasi bahwa pihaknya menerima laporan terkait seseorang bekas anggota militer yang diduga membagikan informasi intelijen dan rahasia kepada pihak asing, melanggar aturan, bekerja untuk “dua majikan” dan pencucian penipuan pajak.
Proses penyelidikan masih berlangsung.Chuet membantah telah melakukan kesalahan.
“Apa yang saya lakukan adalah sekedar mengisi sebuah seminar 3 hari,” katanya kepada Le Canard Enchaîné, media Prancis yang pertama kali melaporkan kasus itu.
“Perjalanan 2019 saya itu tidak berjalan dengan baik, dan sejak itu saya tidak pernah menjejakkan kaki di China.”
Koran Le Canard tersebut tidak menyebutkan namanya, tetapi laporan Mediapart dan Le Parisien kemudian mengidentifikasinya sebagai Chuet, pria berusia 36 tahun berkewarganegaraan ganda Prancis dan Kanada.
Chuet bertugas di unit udara AL Prancis sampai 2021. Menurut Mediapart, dia ditempatkan di kapal induk Charles-de-Gaulle dan tergabung dalam pasukan Prancis yang dikirim ke Iraq menyusul serangkaian serangan November 2015 yang terjadi di Paris dan stadion Stade de France.
Sejak meninggalkan dinas kemiliteran, dia bekerja sebagai seorang konsultan bisnis, mengelola kanal YouTube bertemakan aviasi, kerap muncul di layar kaca Prancis sebagai komentator isu-isu pertahanan.
Satu sumber mengatakan kepada Mediapart mengatakan seminar yang dihadiri Chuet kemungkinan menyinggung soal operasi-operasi militer negara Barat di kawasan Timur Tengah belakangan ini.
Pada 2023, Prancis meloloskan UU Program Militer guna memperketat kontrol terhadap para bekas personel militer dan sipil yang bermaksud bekerja untuk negara atau perusahaan asing. UU itu berlaku sampai 10 tahun setelah masa kedinasan mereka berakhir.
Berdasarkan peraturan itu, setiap bekas personel militer dan sipil Prancis harus menyampaikan maksud mereka untuk bekerja di perusahaan atau negara asing kepada Kementerian Angkatan Bersenjata. Kementerian dapat menggagalkan rencana mereka apabila dinilai kemungkinan ada informasi atau pengetahuan penting, sensitif dan rahasia yang akan terbongkar sehingga berisiko membahayakan negara.
Legislasi itu tidak berlaku surut dan karenanya tidak mencakup kasus Chuet. Meskipun demikian, penyidik akan mencari tahu apakah tindakannya kala itu melanggar peraturan yang ada.
Penyelidikan kasus ini masih berlanjut dan belum ada yang dijerat tuduhan resmi.*