Hidayatullah.com— Penjajah ‘Israel’ dilaporkan tengah menyiapkan operasi militer ekstrem yang disebut sebagai “opsi nuklir” jika kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan tidak tercapai sebelum 15 Mei 2025, bertepatan dengan kunjungan Presiden AS Donald Trump ke kawasan Timur Tengah.
Di balik rencana invasi besar-besaran itu, kecemasan justru melanda tubuh militer ‘Israel’ sendiri: bagaimana Hamas akan membalas jika serangan diluncurkan.
Mengutip laporan Axios, kabinet keamanan Zionis telah menyetujui rencana berkode sandi “Kereta Perang Gideon”, yang mencakup invasi empat hingga lima divisi pasukan infanteri dan lapis baja, penghancuran menyeluruh terhadap infrastruktur dan jaringan terowongan Hamas, serta pemindahan hampir dua juta warga Palestina ke “zona kemanusiaan” di Rafah.
Setiap warga yang memasuki zona itu akan diperiksa ketat untuk alas an menyaring adanya hubungan dengan Hamas.
Namun, rencana ini memicu kecaman luas dari dunia internasional. Banyak pihak menyebutnya sebagai pembersihan etnis terselubung, apalagi belum ada satu negara pun yang bersedia menampung warga Palestina yang “dipaksa pergi secara sukarela” dari Gaza.
Rencana pengelolaan zona kemanusiaan oleh perusahaan swasta AS dan organisasi internasional pun semakin diragukan setelah PBB dan badan bantuan menolak terlibat.
Di sisi lain, kekhawatiran serius muncul dari jajaran militer penjajah sendiri. Mayor Jenderal Cadangan Nitzan Alon memperingatkan bahwa peningkatan operasi militer dapat memicu respons brutal dari Hamas terhadap para sandera.
Saat ini, Hamas masih menahan 59 orang, dan militer ‘Israel’ telah mengonfirmasi kematian sedikitnya 35 dari mereka. “Semakin keras serangan, semakin besar risiko para tahanan dijadikan tumbal,” ujarnya dikutip Channel 12.
Sementara itu, Trump dijadwalkan mengunjungi Arab Saudi, Qatar, dan UEA pekan depan—namun tidak akan singgah ke ‘Israel’.
Seorang pejabat AS mengakui bahwa kondisi perang membuat kunjungan ke ‘Israel’ “tidak menguntungkan secara politik.”
Fokus utama Trump disebut-sebut akan lebih pada investasi dan isu bilateral, bukan konflik Gaza. “Gaza bukan prioritas Washington saat ini,” ungkap sumber dari Teluk.
Dengan lebih dari 52.615 syahid dan 118.752 terluka sejak 7 Oktober 2023, Gaza kini berada di ambang kehancuran total. Ancaman invasi penuh, perpindahan massal, dan tekanan internasional menjadikan situasi di wilayah tersebut sebagai salah satu krisis kemanusiaan dan politik terburuk sejak Nakba 1948.*