Hidayatullah.com–Salah satu garis pemisah antara Sunni dan Syiah adalah klaim Syiah tentang konsep teologi imamah. Selain itu adalah banyak mitos yang dijadikan pegangan utama.
Termasuk mitos pengakuan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai pewaris kepemimpinan yang sah setelah Nabi Muhammad wafat. Hal itu dikatakan peneliti sejarah dari Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Asep Sobari, LC, MA.
Dintara mitos yang sering digembar-gemborkan adalah kisah Karbala dan Ghadir Khum. Sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai penindasan Sunni terhadap Syiah. Menurut Asep, dalam fitnah tersebut, Sahabat Husain bin Ali bin Abi Thalib syahid dalam peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Muharram itu.
Menurut Kang Asep, demikian ia biasa dipanggil, kisah Karbala hari ini telah bercampur antara fakta dan mitos.
“Nyatanya justru akibat ulah Syiah, cucu kesayangan Nabi itu terbunuh dengan pengkhianatan mereka sendiri,” ungkap Asep yang juga tim penulis buku “Teologi dan Ajaran Syiah Menurut Referensi Induknya”, Ahad (02/11/2014) di Hotel Sofyan Betawi, Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat.
Tak heran, inilah alasan mengapa kaum Syiah mati-matian mengangkat hadits “Ghadir Khum” sebagai legitimasi untuk pengangkatan Ali sebagai khalifah setelah Nabi wafat.
Bahkan dengan keyakinan itu, orang-orang Syiah lalu memperingati peristiwa itu dengan penamaan Hari Raya Idul Ghadir.
Di Indonesia sendiri, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) pernah memperingati hari tersebut di Jakarta tahun 2013 lalu.
Menurut Kang Asep, demikian sapaan akrabnya, peristiwa Ghadir Khum memiliki realitas fakta sejarah sekaligus mitos yang telah dipelintir oleh Syiah. Sebab mereka punya kepentingan di balik peristiwa itu.
“Fakta peristiwa Ghadir Khum itu benar adanya. Tapi bukan itu makna sebenarnya dari pidato Nabi tentang pujiannya kepada Ali bin Abi Thalib,” ujar Ketua Sirah Club Indonesia (SCI) ini.
Hal ini penting dipahami oleh umat Islam agar mereka tak mudah dikecoh oleh propaganda orang-orang Syiah dalam mentakwilkan hadits-hadits nabi sesuai dengan kepentingan mereka.
Asep menceritakan peristiwa Ghadir Khum terjadi pada sebuah lembah yang terletak antara kota Makkah dan Madinah di dekat wilayah Juhfah. Saat itu Nabi dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’ tahun ke-10 H. Di sana Nabi lalu bersabda, “Sesiapa yang menjadikan aku sebagai maula-nya (orang yang dicintai), maka Ali juga sebagai maula-nya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Oleh Syiah, hadits ini lalu dimaknai sebagai pengesahan Nabi terhap kepemimpinan Ali setelahnya nanti. Sebab mereka mengartikan kata maula pada hadits di atas sebagai pemimpin. Sehingga mereka kemudian membenci para sahabat yang lain yang dinilai Syiah telah mencaplok hak Ali bin Abi Thalib.
Sementara Sunni (Ahlus Sunnah) justru memaknai hadits tersebut sebagai kecintaan Nabi terhadap Ali. Bukan sebagai pemimpin sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Syiah.
Menurut Asep, kisah Ghadir Khum hanyalah satu diantara sekian banyak kebohongan publik Syiah lainnya.
Acara launching dan bedah buku yang diinisiasi oleh Institute for the Studi of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini juga menghadirkan pemateri lainnya, yaitu Hamid Fahmi Zarkasyi (Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Pusat).*/Masykur Abu Jaulah