Oleh: Ilham Kadir
Sambungan artikel PERTAMA
Ketiga. Konsep Imamah menurut Syiah. Prof Wan adalah ilmuan masa kini yang kerap kali tampil berbicara di forum-forum internasional, termasuk di Iran, bahkan ketika di ISTAC ia mempekerjakan beberapa dosen dari Iran yang berpaham Syiah. Karena itu banyak yang mempertanyakan, mengapa ISTAC mau mengundang dosen-dosen yang beraliran Syiah? Prof Wan menjawab dengan tuntas.
Bahwa, keberadaan beberapa intelektual dan pakar dari Iran adalah murni masalah akademis, atau untuk mengajarkan mata kuliah tertentu, sepeperti sains, filsafat, dan bahasa Persia, di antara para pakar itu adalah, Prof. Mehdi Mohaghegh dan Prof. Amad Kazemi. Kedatangan mereka mengajar di ISTAC juga di bawah supervisi beliau, tidak boleh menyebarkan dan mengajarkan faham keliru mereka, dan karena itu, keberadaan mereka terjamin tidak akan menyebarkan ajaran Syiah. Bahkan, menurut Prof Wan, banyak perkara yang sama antara Syiah dan Ahlus Sunnah, baik terkait keyakinan, maupun terkait denga masalah syariat dan akhlak. Tapi, yang paling membedakan dia antara mereka adalah akidah imamiyah.
Dengan adanya konsep imamiyah inilah sehingga Syiah dan Ahlus Sunnah tidak akan bersatu, inilah perbedaan paling prinsipil menurut Prof Wan.
Bagi saya pribadi, kata Prof Wan, ini adalah pernyataan tokoh yang dekat dengan Syiah paling penting. Karena beberapa intelektual maupun ulama nasional dan internasional memahami bahwa konsep imamah dalam Syiah hanyalah bagian dari furu’ alias ranting belaka.
Bagi guru besar alumnus Chicago University ini, konsep imamah bagi Syiah terbagi dua, satu berimplikasi pada kekufuran dan satu lagi sesat dan menyesatkan.
Yang pertama adalah, golongan menganggap bahwa Jibril salah membawakan wahyu kepada Nabi Muhammad yang seharusnya diberikan kepada Ali. Golongan ini, tidak diragukan lagi sebagai kolongan yang kafir karena tidak mengakui kenabian Muhammad sebagi Rasulullah.
Kedua, golongan yang menyatakan bahwa Imam Ali lebih mulia dari sahabat Nabi lainnya terutama Abu Bakar, Umar dan Usman. Ketika Nabi wafat, dan tampuk kepemimpinan dikendalikan oleh Abu Bakar as-Siddiq, maka para sahabat pun membai’at Abu Bakar. Namun, dalam pandangan Syiah, para pembai’at Abu Bakar, terutama Ali hanyalah sebagai kepura-puraan. Karena itu, secara de facto, kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Usman tidak pernah sah bagi kaum Syiah.
Menurut Prof Wan, jika hal itu terjadi, maka, Rasulullah selama kenabiannya telah gagal mendidik para sahabatnya sebagai murid-murid yang shaleh, sebab hanya melahirkan manusia-manusia munafik.
Tidak hanya itu, kerasulan Nabi Muhammad juga dipertanyakan, sebab dialah yang paling tau tentang ciri-ciri orang munafik yang diajarkan oleh Allah melalui wahyu, bahwa orang munafik itu, jika berkata berbohong, jika berjanji ingkar, dan jika diberi amanat ia khianat.
Nah, jika dia saja tidak dapat mengenal sahabatnya sebagai manusia munafik maka itu sebuah kegagalan besar pada diri Nabi. Akan semakin sulit menerima argumen Syiah, lanjut Prof Wan, sebab, jika sahabat-sahabat terdekat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman dianggap munafik, maka kenapa Nabi justru menjadikan mereka mertua dan menantu.
Abu Bakar adalah mertua Nabi, sebab Aisyah binti Abu Bakar adalah istrinya, demikian pula Umar. Rasulullah menikah dengan Hafsah putri Umar, ada pun Ustman dan Ali mereka berdua adalah menantu Nabi (Utsman menikah dengan kedua putri Nabi, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum sedangkan Ali menikahi Fatimah).
Tentu saja, jika ada yang bersifat dan berciri-ciri munafik, Nabi tidak akan menjadikan mereka mertua apalagi menantu, papar penulis buku, “Budaya Ilmu: Suatu Penjelasan” itu.
Maka, argumen-argumen Syiah terkait konsep imamah sama sekali tidak dapat diterima, baik dari sisi akal apalagi nash.
Perlu dicatat bahwa Prof Wan adalah satu-satunya pemikir kontemporer selain Prof. Naquib Al-Attas sebagai penulis yang berasal dari Nusantara yang karya-karyanya banyak yang diterjemahkan dalam bahasa Persia (Iran).
Keempat. Mengapresiasi Berdirinya Pusat Kajian Syekh Yusuf Al-Makassari. Lembaga ini bertujuan sebagai pusat penelitian dan pengkajian Islam yang komprehensif, dilengkapi dengan berbagai buku rujukan yang mumpuni, dipadu dengan sistem informasi yang mutakhir. Prof Wan menilai bahwa pusat-pusat keilmuan harus didirikan agar menjadi tempat untuk melakukan berbagai aktifitas intelektual dan keulamaan, dan itu harus ditopang dengan ketersediaan buku referensi.
Penting diingat bahwa Prof Al-Attas dan Prof Wan telah membuktikan ketika mendirikan ISTAC di Bukit Damansara Kuala Lumpur Malaysia, dan menjadikan perpustakaannya sebagai perpustakaan terlengkap di dunia dalam bidang islamic study.
Dengan limpahan buku-buku referensi itu, sehingga para ilmuah sejagad datang untuk melakukan penelitian sekaligus mengajar di ISTAC. Sejak tahun 2002 jumlah koleksi perpustakaan ISTAC berjumlah 157.000 buku, 45.000 di antaranya terdiri dari manuskrip (naskah kuno), koleksi karya-karya langka (rare books) juga banyak tersedia. Termasuk koleksi pribadi berbagai tokoh dan ilmuan, misalnya, koleksi Fazlur Rahman, Bertold Spuler, Oleg dan Andre Graber, Bradenburg, dan Swann. Terdiri dari berbagai bahasa seperti, Arab, Inggris, Jerman, Prancis, Persia, Greek-Latin, Rusia, Bosnia, Urdu, dan Indonesia. Prof Wan menilai, Makassar dapat melanjutkan tradisi ISTAC dengan mendirikan pusat kajian seperti itu, apalagi jika dipadukan dengan nama Al-Makassari yang merupakan ulama dan pejuang ulung nusantara.
Pada awalnya gagasan Pusat Studi Syeikh Yusuf muncul dalam perbincangan Badan Pengurus Harian (BPH) Universitas Bosowa 45 (UB 45) dengan Dr. Adian Husaini & Dr. Indra di UB 45 Senin (18/1/2015) siang. Semula, Drs Waspada Santing mengemukakan gagasan bahwa pihak universitas akan membentuk Pusat Studi Islam (Pusdilam).
Lalu Dr. Adian menyarankan agar memakai nama ‘Syekh Yusuf Al-Makassari’. Drs Waspada mempertegas nama tersebut, Ketua BPH Dr. Sutrisno menyarankan nama ‘Pusat Studi Syekh Yusuf Al-Makassari’ yang menjadi kesepakatan. Adian memambahkan, itu gagasan menarik. Kalau terwujud, UB 45 dapat menjadi pusat kajian Syekh Yusuf.
Dr. Sutrisno berharap agar pusat kajian tersebut dapat dilaunching saat Disnatalis UB 45 April 2015. Drs. Waspada lalu menyampaikan gagasan itu ke Prof. Wan saat menemani beliau santap pagi Selasa, (19/1/2015) dan ia sangat mengapresiasi. Bahkan pendiri ISTAC itu bersedia hadir saat launching untuk membawakan orasi ilmiah.
Ketika melakukan berziarah ke makam Syekh Yusuf Al-Makassari, Dr. Adian, juga sangat kecewa ketika menyaksikan pusara orang mulia itu dijaga manusia-manusia berprilaku tidak mulia, memalak para peziarah. Bahkan ketika Prof Wan hendak memasukkan uang dalam kotak amal malah dilarang, lalu memaksanya untuk menyetor recehan padanya oleh para penjaga makam yang tak jelas.
Di lain pihak Dr Adian dikejar-kejar hingga ke mobil oleh penunggu sepatu untuk menagih ‘uang tunggu sepatu’, sebuah pemandangan yang sangat memalukan di Butta Gowa padahal mereka datang dengan tujuan mulia, ingin berziarah, mendoakan, dan meneliti. Pemerintah Daerah harus segera bertindak jika tidak ingin nama mereka tercoreng.
Akan menjadi sebuah penghinaan terhadap ulama, jika menyebut kuburan Syeikh Yusuf justru yang terlintas adalah preman yang menguasai kuburannya.
Kita harus membuang stigma itu dengan mendirikan pusat kajian Islam Syekh Yusuf di Makassar. Ketokohan beliau sudah menjadi garansi di dunia Islam, karya-karyanya terus hidup dan berkembang kendati telah terkubur ratusan tahun lalu.
Prof Wan sendiri sudah berziarah ke makam Al-Makassari di Cape Town Afrika Selatan, dan Banten, sedang kuburan yang berada di Makassar adalah kuburan ketiga Al-Makassari. Wallahu A’lam!
Penulis adalah mahasiswa doktor pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor