Hidayatullah.com–Para fuqaha (ahli fiqh) mentakan, darah yang tersisa di dalam bagian-bagian daging bisa dimaafkan dan tidak terlarang dikonsumsi.
Namun darah yang ditampung dari hasil penyembelihan tidak boleh dimanfaatkan untuk konsumsi manusia, baik dikonsumsi secara langsung maupun tidak langsung. Seperti melalui proses pengolahan industri bahan makanan maupun farmasi (obat-obatan).
Demikian dikemukakan Wakil Direktur LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si., pada pembukaan Pelatihan Sistim Jaminan Halal (SJH), Selasa, 18 Agustus 2015 di Bogor.
“Sesuai dengan ketentuan nash dari Al-Quran itu, maka haram hukumnya memanfaatkan daerah yang sengaja ditampung dari hasil penyembelihan,” tegasnya, dalam paparannya di hadapan 46 peserta pelatihan yang dilangsungkan di gedung Global Halal Centre (GHC) Bogor seperti dikutip laman LPPOM.
Ia menjelaskan, karena dalam prakteknya, ada beberapa usaha pemotongan hewan sapi, kambing atau bahkan ayam, yang sengaja menampung darah dari hasil penyembelihan. Darah itu kemudian dimanfaatkan untuk konsumsi.
Menurutnya, di beberapa daerah, darah hewan dari penyembelihan ditampung lalu dibekukan menggunakan cetakan khusus, diolah secara tradisional untuk konsumsi, disebut “Dideh”, “Warus” atau juga “Marus”. Selintas marus ini terlihat seperti ati sapi yang halal dikonsumsi. Masyarakat di Bali sering mencampurkan darah hasil dari menyembelih ayam atau sapi dalam satu jenis makanan yang disebut “lawar”.
Ada pula usaha pengolahan darah itu dengan proses industri modern. Misalnya diolah menjadi produk semacam tepung darah untuk obat-obatan, vitamin penambah darah atau makanan suplemen.
Dengan ketentuan nash yang jelas itu, maka diingatkan bersama bahwa semua produk yang menggunakan bahan dari darah itu haram hukumnya untuk dikonsumsi.
Ia kemudia menyitir Surat Al Maidah yang menyebutkan, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 3).*