Kehadiran INSISTS sejak 2003 dengan sayap-sayap jaringannya yang makin meluas telah membangun tradisi ilmu di Indonesia dan membawa angin segar pemikiran. Inilah tulisan tentang 20 Tahun INSISTS (Catatan seorang aktifis)
Oleh: Mahardika Putera Emas
Hidayatullah.com | SEKADAR untuk memperingati, merayakan dan mensyukuri, saya ingin berbagi pengalaman pribadi maupun rekan-rekan yang juga mengalami pengalaman yang sama.
Sebagai mahasiswa di kampus negeri, terlebih lagi tidak memiliki latar belakang pesantren maupun rohis sebelumnya, kami sama-sama pernah mengalami keguncangan ataupun ketegangan batin.
Saya pribadi merasakan sendiri sejak awal masa ospek dan awal masa kuliah, para senior mencekoki kami dengan doktrin-doktrin yang mengikis identitas keislaman secara terstruktur dan sistematis.
Mulai doktrin mengenai “agama adalah ranah privat”, “Konvensi sosial lebih baik dari agama”, “Semua agama sama saja”, dll. Pengaturan kegiatan agar kami tidak shalat pun pernah kami alami, sampai kami harus berbohong ingin ke kamar kecil padahal sebetulnya ingin menunaikan shalat. Belum lagi soal pergaulan bebas dan miras yang memang dinormalisasi, yang penting “tidak merugikan orang lain.”
Kejadian-kejadian di awal masa kuliah itu ternyata belum seberapa, dan hanya seperti pemanasan saja. Semester demi semester saya lalui, keguncangan batin mulai menjerat saya.
Kandungan materi dan teori dari dosen-dosen maupun obrolan santai hingga diskusi serius bersama sesama teman mahasiswa hampir selalu meninggalkan kesan yang negatif terhadap agama.
Islam nampak bertentangan dengan semuanya; Islam vs HAM, Islam vs Kebudayaan, Islam vs Sains, Islam vs Keadilan, Islam vs Wanita, Islam vs Kemajuan, Islam vs Rasionalitas, dll. Keguncangan batin pun makin menguat hingga saya merasa menjadi seseorang yang berkepribadian ganda atau berkepribadian terpisah (split personality).
Cara berpikir saya di masjid atau di majelis ta’lim berbeda dengan cara berpikir saya di kelas. Apa yang saya catat di forum agama berbeda dengan apa yang saya jawab saat ujian.
Padahal apa yang dibicarakan seringkali mengenai fenomena maupun konsep-konsep fundamental yang sama mengenai realitas kehidupan.
Saya sadar bahwa ini tidak logis, terdapat penjelasan yang berbeda-beda mengenai satu konsep maupun realitas yang sama namun saling bertentangan. Ada sesuatu yang mengganjal dan keliru tapi tidak bisa saya ungkapkan.
Saya mencoba mencari jawaban dari berbagai artikel, ceramah, kajian, diskusi, buletin, hingga tulisan-tulisan yang tersebar di media sosial. Hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai seorang awam.
Perlahan mulai mendapat titik terang dan membantu saya untuk lebih condong pada penjelasan agama. Tetapi saya merasakan masih banyak celah-celah keraguan dan kebingungan yang belum betul-betul terjawab.
Pergaulan saya dengan aktivis dakwah kampus yang dibarengi dengan penerapan disiplin amalan hariannya cukup bisa menjaga saya agar tidak oleng di tengah masa keguncangan batin itu.
Saya pun semakin menyadari bahwa saya tidak sendirian, banyak juga teman-teman yang mengalami keguncangan serupa. Ada yang hanya diam tapi sambil bersikap relatif, ada yang dengan gamblang merendahkan agama atas nama ilmu pengetahuan, dan ada yang masih loyal dengan agamanya namun karena tidak kuat dengan guncangan batin yang menyiksanya, akhirnya memilih putus kuliah atau berpindah jurusan dan kampus.
Ada juga yang masih bertahan, mencoba untuk melakukan kritik tetapi isinya kebanyakan kecaman demi kecaman saja yang kurang dapat diterima di dunia akademik.
Saya mempertanyakan diri sendiri, saya akan ambil sikap yang mana ? Saya merasa tidak ada pilihan sikap yang ideal sama sekali. Tanpa memilih, dengan sendirinya saya bersikap tawaqquf.
Kuliah pun rasanya lesu, pengajian pun saat itu diwarnai dengan berbagai perdebatan antar golongan yang semakin menyesakkan dada. Saya merasa kegiatan akademik saya tidak menunjang keberagamaan saya, dan kegiatan agama saya tidak menunjang kegiatan akademik saya. Betul-betul terpisah.
Sulit rasanya menggambarkannya melalui kata-kata. Saya hanya terus tawaqquf sambil terus menjaga prasangka baik saya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sampai akhirnya di masa-masa akhir perkuliahan, salah seorang sahabat saya mulai sering membagikan tulisan-tulisan dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dan Dr. Adian Husaini.
Saya merasa ada cara penjelasan yang berbeda dan bobot ilmiah yang lebih ketat. Tidak selalu bisa langsung saya pahami namun karena topik-topiknya menyentuh isu-isu kebingungan saya selama ini, mendorong saya untuk secara mandiri menelusuri lebih jauh tulisan-tulisan mereka.
Buku pertama mengenai “pemikiran Islam” yang saya baca adalah Misykat karya Dr. Hamid, dan dari buku itu saya pertama kali mengetahui lembaga intelektual yang beliau pimpin yakni Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
“Luar biasa, kemana saja saya? Seharusnya saya membaca buku ini sejak dahulu!” Kurang lebih begitu kesan saya setelah melahap dan mengunyah pelan-pelan berbagai argumen canggih di dalamnya.
Memang tidak semuanya bisa saya mengerti, tapi justru karna itu saya tertantang untuk mempelajari tulisan-tulisan sekaligus mengenal lembaga ini lebih jauh lagi. Saya mulai membaca Jurnal Islamia dan buku-buku lain karya para peneliti INSISTS.
Banyak sekali argumen-argumen yang belum pernah saya temui namun sangat bisa mengungkap persoalan pemikiran hingga ke akarnya. Saya mulai memahami dari mana saja konsep, teori, maupun ideologi yang selama ini betul-betul mengguncang batin saya.
Etos mereka untuk selalu mengkritik berbagai pemikiran asing langsung dari karya-karya primernya yang berbahasa Arab, Inggris, Latin, Yunani, Jerman, Prancis dan Ibrani, serta loyalitas kepada turats dan penyajiannya yang relevan dengan dunia akademik terkini betul-betul memuaskan dahaga pencarian saya dan juga rekan-rekan yang ternyata juga telah mengakses karya-karya mereka.
Ditambah lagi dengan penyampaian mereka yang berhati-hati, elegan dan santun semakin meyakinkan saya untuk menjadikan mereka dan lembaganya sebagai rujukan.
Setelah beberapa masa mempelajari karya-karya dan mengikuti kajian-kajian mereka, dan bergabung serta berkenalan dengan teman-teman baru dari berbagai kota yang juga belajar kepada asatidz INSISTS, saya melihat suatu fenomena menarik.
Fenomena itu ialah mulai banyaknya generasi muda yang tidak memiliki latar santri namun sangat tertarik dengan berbagai turats ulama bahkan dapat memahaminya.
Begitu juga sebaliknya, mereka yang berlatar santri mulai tekun membaca karya-karya filsafat maupun saintek Barat dengan pembacaan yang adil & kemampuan mengkritisinya.
Mereka yang sebelumnya merasakan kelesuan dalam aktifitas akademiknya, mendapatkan kembali motivasi yang lebih luhur, semangat baru dan disiplin belajar yang lebih baik, bahkan tidak sedikit yang berani melanjutkan ke jenjang berikutnya baik di dalam maupun luar negeri.
Mereka juga lebih percaya diri, lebih tertib dan lebih santun dalam berargumen ketika berdialog dengan kawan-kawannya yang memiliki landasan berpikir berbeda. Sampai akhirnya mereka dipercaya dan mampu untuk meluaskan jaringan INSISTS di berbagai kota dengan melahirkan lembaga-lembaga ataupun lingkaran keilmuan baru yang meneruskan visi yang sama.
Sependek yang saya tahu saat ini lembaga-lembaga itu ada di Medan, Padang, Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Solo, Ponorogo, Surabaya, Mataram, Samarinda, dll.
Kehadiran INSISTS sejak 2003 dengan sayap-sayap jaringannya yang makin meluas, memang betul-betul membawa angin segar terhadap wacana atau diskursus pemikiran Islam di Indonesia.
Sulit untuk memungkiri dampak dan pengaruhnya terhadap dunia akademik tanah air; tidak hanya dalam studi agama, tapi juga dalam studi sains dan teknologi serta studi sosial-humaniora.
Metode tauhidik yang dikampanyekannya dalam dunia akademik berhasil memberikan cara pandang yang integratif antar disiplin keilmuan.
Berbagai penelitian baik dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi maupun artikel jurnal yang berlandaskan metodologi yang mereka serukan telah lahir di sejumlah lembaga akademik.
Begitu juga dalam hal legislasi atau penentuan kebijakan skala nasional, mereka juga tampil membawa aspirasi umat. Mulai dari persidangan di parlemen, diskusi di MPR, hingga persidangan di MK.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan berbekal argumen ilmiah yang berbobot, mereka berhasil menggagalkan sejumlah RUU dan rencana kebijakan bermasalah dan sekurang-kurangnya menghambat pengesahannya sembari menawarkan solusi rancangannya yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam.
Status liberal yang sebelumnya menjadi trend dan sempat digandrungi di akhir 90-an dan awal 2000-an pun berhasil dilucuti secara bertahap hingga para tokoh-tokoh pelopornya yang dahulu bangga kini merasa malu untuk menyandangnya lagi.
Walau begitu, jasa mereka yang terpenting menurut saya bukan pada kerja keras mereka membantah pemikiran sepilis di tanah air. Jasa tersebut tentu saja penting dan luhur, namun ada yang jauh lebih penting yakni seperti yang tertera pada logo 20 tahun INSISTS : “Membangun Tradisi Ilmu”.
Berbagai program maupun upaya intelektual mereka selama ini bukan hanya untuk membantah tetapi juga untuk menyuburkan kembali budaya ilmu berdasarkan konsep ilmu yang benar, yang telah dikukuhkan dengan sangat canggih oleh para ulama agung kita dari masa ke masa.
Keterputusan epistemologi atau keterputusan generasi muda khususnya para mahasiswa dari tradisi ilmiah para pewaris nabi menjadi akar persoalan keguncangan batin ataupun split personality yang pernah kami alami dahulu.
Berbekal budaya ilmu itu, INSISTS mendidik untuk bersikap adil atau inshaf, yakni tidak mengidap xenophobia dan menjauhkan diri juga dari sikap fanatisme buta. Bersikap adil baik kepada tradisi Islam maupun kepada tradisi peradaban lain. Jasa besarnya kepada para mahasiswa betul-betul terasa; mereka yang sebelumnya berpikir untuk putus kuliah kemudian mengurungkan niatnya, mereka yang yang sebelumnya punya parasangka buruk terhadap agama dan lebih mengagungkan sains, kemudian merevisi cara pandangnya dan bersikap lebih adil pada keduanya, mereka yang sebelumnya hanya dapat mengecam kini dapat berargumen dengan lebih ilmiah dan santun.
Para mahasiswa akhirnya mendapatkan basis epistemologi yang lebih sistematis dalam menjalankan kegiatan akademik mereka, tanpa harus lagi mengalami false dilemma antara dunia akademik vs identitas keislaman mereka.
‘Ala kulli hal, sebagai seseorang yang betul-betul merasakan jasa besar guru-guru di INSISTS, saya berharap semoga INSISTS dipanjangkan usianya, para guru senantiasa diliputi kesehatan dan keberkahan, dan senantiasa dilimpahkan kekuatan dalam menjunjung semboyan mereka : “Committed to the Truth” .
Dan semoga kerja-kerja intelektual INSISTS dapat makin meluas sehingga semakin mengurangi kebingungan maupun keguncangan batin yang dialami oleh para generasi muda khususnya mereka yang berjuang mempertahankan pandangan hidupnya di dunia akademika. Barakallah INSISTS. Teruslah mencerahkan dan menyuarakan yang benar.*
Alumni FISIP Unair- Surabaya