Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Beggy Rizkiyansyah
Dampak dari pemberitaan yang membangun rasa takut ini tentu bukan sepele. Media memiliki kemampuan untuk berkontribusi di agenda politik dan sosial. Media bukan saja memberikan informasi tetapi juga dapat mengarahkan orang untuk fokus dan takut pada kejahatan, ia bahkan dapat menanamkan nilai dan perspektif tertentu. Masyarakat akibatnya merasa tak aman dan merasa dapat menjadi korban. (David L. Altheide : 2003)
Dampak terbesar dari wacana ketakutan adalah mempromosikan rasa tidak teratur, (disorder), dan percaya keadaan sudah diluar kendali. Kehidupan sosial bisa menjadi lebih berbahaya jika aktor sosial mendefinisikan situasi mereka sebagai “menyeramkan” dan terlibat dalam masyarakat lewat wacana ketakutan. Ketika masyarakat sudah terfokus dalam ketakutan (dan kekalutan), mereka tak lagi mampu memilah secara rasional, informasi yang disajikan tak lagi diseleksi sehingga kehadiran pemerintah yang seakan menjadi “penyelamat” tanpa dikritisi lagi.
Membangun rasa takut terhadap demonstrasi tak ayal adalah salah satu ciri dari rezim orde baru. Demonstrasi dianggap sebagai sebuah aksi subversif terhadap pemerintah. Stempel baik ekstrim kiri atau ekstrim kanan ditimpakan begitu saja kepada mereka yang terlibat demonstrasi. Sehingga ketika masyarakat dilanda ketakutan terhadap demonstrasi, masyarakat akhirnya membiarkan begitu saja tindakan represif bahkan berujung pembantaian terhadap demonstran, seperti misalnya yang terjadi pada Tanjung Priok tahun 1984.
Demonstrasi seharusnya tidak perlu ditakuti. Selain dijamin oleh Undang-Undang, demonstrasi juga sebuah pertanda hidupnya demokrasi di sebuah negara. Di Indonesia, demonstrasi menjadi seiring dengan perjalanan bangsa kita. Bahkan demonstrasi menentang penistaan agama sudah terjadi sejak tahun 1918, ketika surat kabar Djawi Hiswara menerbitkan tulisan Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo.” Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis“Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”
Tulisan ini mengundang reaksi hebat umat Islam kala itu. Dimotori oleh Sarekat Islam, organisasi bercorak nasional pertama di Indonesia, protes terhadap penistaan agama itu menghebat di berbagai tempat. Tjokroaminoto kemudian membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM), melakukan aksi protes di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang. Perlu diingat, saat itu Indonesia masih dalam keadaan terjajah oleh kolonial Belanda, namun aksi protes tetap bisa berlangsung. Pun, sepanjang sejarah bangsa kita, aksi massa terus mewarnai. Berkumpulnya massa di lapangan IKADA tahun 1945 juga bagian dari sejarah bangsa. Bahkan reformasi yang menandai pergerakan Indonesia lepas dari sistem otoriter di tahun 1998 juga tak lepas dari aksi demonstrasi.
Dosen Komunikasi Unpad Ungkap Alasan Mengapa Banyak Media Pro Ahok
Di era digital saat ini, aksi demonstrasi justru menjadi pertanda baik hadirnya aktivitas politik masyarakat yang nyata. Sejak hadirnya media digital, terutama media sosial seperti Facebook dan Twitter, masyarakat seperti amat aktif berpolitik dan menjadikan politik isu keseharian mereka. Aktivisme politik pada era digital saat ini bernuansa kontestasi kuasa dan makna dalam dunia maya dan ditentukan pembagian peran oleh buzzer, influencer dan followers. Benar atau salah dihitung dari seberapa banyak menuai like dan seberapa viral di dunia maya. Selain itu aktivisme politik di dunia maya saat ini memang condong pada saling perang kepentingan yang diungkap secara reaksioner dan emosional. Hujat menghujat meramaikan aktivisme politik ini. (Wasis Raharjo Jati : 2016) Namun aktivisme politik ini dipertanyakan wujudnya dalam dunia nyata. Seberapa besar aktivisme di dunia maya ini mampu menggerakan masyarakat dalam politik yang nyata? Ataukah hanya keriuhan di dunia maya semata. Hadirnya gelombang informasi yang begitu massif memang bukan berarti hidupnya demokrasi di masyarakat.
Hadirnya internet, terutama media sosial juga bukan berarti memberi pengetahuan politik yang memadai bagi masyarakat. Masyarakat dibanjiri informasi, namun tak dapat memilah. Masyarakat (merasa) hanya perlu dilibatkan saat politik elektoral saja. Ketika menjelang pemilu, mereka dilibatkan. Namun setelah para politisi terpilih, mereka menyerahkan pada politisi semata untuk mengurus soal politik. Schudson menyebut fenomena ini sebagai ‘political backpackers.’ “Why we should expect when we are all wired, we’ll be closer to some kind of democracy?” (Michael Schudson: 2001)
Maka ketika masyarakat turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi, itu berarti masyarakat telah menyalurkan aspirasinya dalam ruang demokrasi. Pertanda yang baik bahwa gelombang protes masyarakat di dunia digital khususnya media sosial, untuk menuntut penegakan hukum terhadap kasus penistaan agama oleh ahok bukanlah gelombang protes yang diciptakan oleh aktor-aktor palsu semacam buzzer. Mereka benar adanya orang-orang yang menyalurkan aspirasinya baik di dunia maya maupun dunia nyata.
Media Massa Diharapkan Adil dalam Memberitakan Aksi Bela Islam
Media adalah pilar demokrasi. Media massa tak seharusnya membangun rasa takut di masyarakat dengan mengeksploitasi pemberitaan yang ‘seram’ dan menakut-nakuti aksi demonstrasi.
Amat ironis jika sebagai pilar demokrasi, media turut merubuhkan demokrasi itu sendiri. Seiring dengan media, perilaku pejabat di negeri ini juga seharusnya tidak reaktif dan kalut menghadapi demonstrasi. Tak perlu mengungkap pernyataan-pernyataan yang mengambang, dan hanya menimbulkan kebinungan serta rasa khawatir di benak masyarakat. Demonstrasi adalah bagian dari aspirasi rakyat yang dilindungi oleh undang-undang. Ia adalah pertanda hidupnya dialog di sebuah negara.Ada baiknya para pejabat pemerintahan belajar kembali dari para pendiri negeri ini.
Salah satunya adalah sikap Bung Hatta menghadapi demonstrasi. Suatu ketika di bulan April tahun 1962, saat ia sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI, Bung Hatta di demonstrasi di Bandara Kemayoran. Di depan ruang VIP Bandara Kemayoran, ratusan pemuda, yang disebut Rosihan Anwar sebagai orang suruhan PKI, mencemooh dan memrotes dirinya. Mereka membawa berbagai poster yang bertuliskan “Hatta tetap Hatta, Belanda tetap Belanda,” “Bung Hatta berevolusilah,” dan “Bung Hatta jangan bermuka dua.” Para demonstran liar itu berada dekat sekali dengan Bung Hatta yang berada di ruang VIP bandara Kemayoran. Namun Bung Hatta tetap terlihat tenang-tenang saja. Malah ia kemudian berjalan menuju mobilnya dan sambil berkata kepada mereka, “Saya tetap Hatta”, “Muka saya cuma satu.” (Rosihan Anwar : 2006)
Penulis pegiat Komunitas Kultura. * Pernyataan Presiden Joko Widodo dapat di lihat pada tautan https://www.youtube.com/watch?v=XSWcx9f9ivQ