Oleh: Alwi Alatas
A padshah who allows his subjects to be oppressed
Will in his day of calamity become a violent foe.
(The Golestan of Saadi)
PENJARA kadang dilihat sebagai simbol represi dari penguasa zalim. Karena di penjara itu kadang orang-orang yang berseberangan dengan penguasa ditahan dan mengalami penyiksaan. Saat belajar Sejarah di sekolah menengah, kita mendengar cerita tentang Revolusi Prancis tahun 1789 dan diserbunya penjara Bastille oleh kaum revolusioner, menandai jatuhnya rezim yang dianggap otoriter ketika itu, yaitu Louis XVI.
Tentu saja ini tidak berarti sebuah negara tidak memerlukan adanya penjara sebagai bagian dari sistem hukumnya. Hanya saja penguasa yang baik tentu akan membatasi fungsi dan keberadaan penjara dan menghindari penyiksaan terhadap tahanan.
Tulisan ini akan banyak merujuk kepada buku Ervand Abrahamian yang berjudul Tortured Confessions, di samping beberapa rujukan lainnya. Buku ini merupakan karya akademik yang membahas secara detail tentang praktek-praktek penyiksaan di penjara Iran pada masa Shah Reza Pahlavi, anaknya, dan juga pada masa Khomeini. Ia antara lain menggunakan laporan-laporan dari orang-orang yang pernah mendekam dan mengalami penyiksaan di penjara Iran. Review atas buku ini antara lain dimuat di International Journal of Middle East Studies yang diterbitkan oleh Cambridge University Press.
Cara-cara represif dan penyiksaan sudah terjadi sejak era Shah Reza Pahlavi, begitu pula pada masa anaknya, Mohammad. Selama sekitar setengah abad hingga awal 1970-an, penyiksaan (shekanjeh) yang terjadi di penjara Iran boleh dikatakan belum terlalu berat, biasanya dalam bentuk ditamparnya wajah, tidak diberi makanan, penggunaan kata-kata kasar, atau dimasukkan ke sel isolasi selama beberapa hari (Abrahamian, 1999: 2). Sejak awal tahun 1970-an, perlawanan terhadap rezim Shah meningkat menjadi perlawanan bersenjata, baik oleh kalangan muda yang berbasis Islam maupun Marxisme. Shah menghadapi ini dengan menambah personil SAVAK, organisasi intelijen dan keamanan Iran ketika itu, dan melatih personelnya di Amerika dan Israel. Tujuannya adalah untuk menumpas terorisme, yaitu gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Sikap pemerintahan Shah terhadap rakyatnya yang dianggap membangkang sepanjang tahun 1970-an dapat dikatakan semakin brutal.
Shah juga memperbaharui sistem penjaranya di beberapa wilayah. Sebuah penjara baru dibangun pada tahun 1971, yaitu Evin, yang segera dikenal sebagai Bastille negara itu. Pada awalnya penjara Evin hanya mampu menampung 320 tahanan, tetapi pada tahun 1977 kapasitasnya diperbesar menjadi 1.500, yang menampung tahanan kriminal dan tahanan politik. Dari jumlah yang terakhir ini, ada 100 buah sel isolasi di blok 209 yang dikhususkan untuk tahanan politik penting. Pada blok tersebut juga terdapat enam ruangan interogasi.
SAVAK diberi kebebasan untuk menyiksa tawanan yang dicurigai terlibat gerilya untuk menggulingkan pemerintah. Mereka terlatih dalam melakukan berbagai bentuk penyiksaan, termasuk mencabut kuku, penyetruman dengan listrik, penyambukan, ditenggelamkan ke dalam air, dan pemerkosaan. Pada pertengahan 1970-an, jumlah tahanan politik mencapai 7.500 orang, sebagian besar ditahan di Evin. Para ulama Syiah dan pengikutnya banyak yang ditahan di penjara ini, begitu pula dengan kelompok kiri (Abrahamian, 1999: 104-110).
Di antara tokoh agama yang pernah mendekam di penjara Evin adalah Ayatollah Hossein Ali Montazeri. Ia merupakan tokoh penting di kalangan pendukung Khomeini, menjadi orang kedua dan calon pengganti Khomeini, sebelum berbalik dan menjadi oposisi di akhir masa pemerintahannya (Sahimi, 21 Desember 2009; Tehran, 20 Desember 2009).
Hal yang sering dilakukan oleh pemerintah terhadap tahanan pada tahun 1970-an adalah penyiksaan untuk mendapatkan “pengakuan kesalahan secara publik” (public recantation). Dengan kata lain, tahanan disiksa hingga mereka mengaku bersalah. Pengakuan mereka direkam untuk dipublikasikan antara lain di radio dan televisi (Abrahamian, 1999: 114-115). Pengakuan kesalahan secara publik tidak hanya terjadi di Iran, tetapi juga di beberapa negara lainnya. “Pengakuan kesalahan di beberapa masyarakat yang sangat berbeda ini adalah sama persis karena mereka memainkan fungsi yang sama,” tulis Abrahamian (1999: 6), “yaitu … sebagai propaganda positif bagi diri mereka [pemerintah] dan sebagai propaganda negatif terhadap musuh-musuh nyata dan khayalan mereka.”
Pada tahun-tahun terakhir menjelang revolusi, kekuatan keamanan Shah menampakkan sikap yang semakin keras, khususnya terhadap tawanan. Bagaimanapun, itu semua tidak membuat kekuasaannya bertahan lebih lama. Shah jatuh dari kedudukannya pada tahun 1979. Revolusi berhasil dengan gemilang. Beberapa kaum revolusioner yang marah menyerbu Evin dan merusak ruangan interogasi. Keadaan di penjara Evin mengalami perbaikan pada tahun-tahun pertama revolusi. Penyiksaan hampir tidak ada lagi (Abrahamian, 1999: 127), tetapi itu tidak bertahan lama.
Khomeini merupakan pemimpin yang paling menonjol dan populer di kalangan kaum revolusioner, tetapi ia dan kaum agamawan yang dipimpinnya bukan satu-satunya pihak yang berperan dalam revolusi Iran. Ada beberapa kelompok lainnya yang ikut terlibat, di antaranya kaum kiri dan Mojahedin Khalq (tentang kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam revolusi lihat Moazami, 2003: 308-312). Namun Khomeini dan para pengikutnya kemudian mengambil alih revolusi sepenuhnya.
Apa yang terjadi berikutnya adalah seperti bunyi sebuah perkataan yang terkenal, “revolusi memakan anak sendiri”. Satu persatu kelompok pro-revolusi di luar kelompok Khomeini tersingkir. Mereka melakukan perlawanan terhadap kubu Khomeini, termasuk dengan senjata, dan segera menjadi musuh negara. Hanya sekitar dua tahun setelah terjadinya revolusi, pemerintah Iran yang baru dengan Khomeini sebagai pimpinan tertinggi mulai menampilkan wajah yang lebih keras. Penyiksaan dan eksekusi di penjara yang sempat vakum mulai muncul lagi. Kalau pada awal revolusi hampir semua korban eksekusi adalah para pendukung rezim Shah, atau sering disebut kaum royalist, kini para pendukung revolusi sendiri mulai menjadi korban.* (BERSAMBUNG)
Penulis buku Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III