Oleh: Imam Nawawi
Alhamdulillah, sudah 71 tahun lamanya Indonesia merdeka, sekalipun baru sebatas merdeka dari pemerintahan asing. Namun, ini adalah gerbang untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya, yang memang sampai sekarang, seluruh putra-putri bangsa mesti bersungguh-sungguh untuk meraihnya.
Dalam beberapa hal, nampaknya telah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Indonesia belum seutuhya merdeka. Sebagai bukti, untuk pembangunan proyek-proyek, Indonesia mesti kebanjiran tenaga kerja asing atau Warga Negara Asing (WNA). Yang, ironisnya, WNA itu tertangkap setelah bekerja. Kenapa tidak ditangkap di bandara?
Masuknya narkoba di Indonesia juga sangat mudah. Tahu-tahu muncul berita ada sekian kilogram narkoba diselundupkan lewat tiang pancang dan lain sebagainya. Pertanyaannya bagi kita yang awam adalah mengapa tidak dari awal akan masuk ke Indonesia hal ini diketahui dan diselesaikan?
Bahkan belakangan rakyat kita disuguhi dagelan paling irasional, dimana satu menteri yang diangkat bukan lagi WNI. Pasca keriuhan protes di ranah publik, presiden pun mencopotnya. Tidak cukup disitu, ada pelajar berpaspor asing juga masuk menjadi pasukan pengibar bendera. Masih untung diketahui, meski sudah cukup terlambat.
Tapi, mungkin itu masalah politik, dimana rasio kebanyakan rakyat kita yang untuk cari makan saja susah sangat kesulitan untuk memahami (kalau tidak mau dikatakan tidak peduli).
Tapi, dimanakah pemerintah, cendekiawan dan budayawan. Mengapa setiap 17 Agustus 1945 rakyat hanya ‘dijebloskan’ pada ritual-ritual tidak relevan dengan semangat kemerdekaan.
17 Agustus rakyat digiring ke lapangan, sungai dan beragam tempat umum untuk melihat lomba makan kerupuk, lari karung, panjat pinang dan beragam perlombaan yang nilai relevansinya dengan spirit kemerdekaan sangat kecil atau bahkan mungkin nihil.
Mengapa tidak ada yang bergerak, berpendapat dan membuat gerakan nyata yang menjadikan momentum kemerdekaan sebagai hari kecerdasan anak bangsa?
Seorang sahabat yang sering menjadi narasumber di berbagai media elektronik, online dan cetak tiba-tiba menyampaikan hal yang sangat penting untuk bangsa ini melalui aplikasi obrolan media sosial.
Menyaksikan banyaknya anak bangsa yang keluar rumah pada 17 Agustus dengan agenda yang tidak tertata atau tepatnya tidak menambah kecerdasan sebagai warga negara Indonesia, mengapa tidak energi pada hari itu diarahkan pada hal yang dibutuhkan bagi kelangsungan bangsa dan negara ini ke depan. Misalnya dengan membaca buku poklamator bangsa, Bung Karno.
Sadar atau tidak, dalam beberapa hal bangsa ini masih terjerembab pada irasionalitas.
Di sinilah putra-putri generasi bangsa mesti mengerti dengan apa yang dimaksud berdikari oleh Presiden Pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
Terlepas dari tuduhan pihak-pihak yang berseberangan dengannya, apa yang digagas Bung Karno adalah spirit asli bangsa Indonesia, dimana kita tidak boleh merasa rendah di hadapan bangsa lain. Apalagi sampai mau diinjak-injak harkat dan martabat bangsa oleh bangsa lain. Sampai akhirnya muncul slogan, “Merdeka atau Mati.”
Semangat itu yang mengilhami arek-arek Suroboyo melahirkan ikrar sumpah kebulatan tekad
“Merdeka atau Mati” yang isinya:
“Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab bersama, bersatu ikhlas berkorban dengan tekad “Merdeka atau Mati!”
Sekali merdeka tetap merdeka!
Surabaya, 9 November 1945 Pukul 18.46.”
Sayangnya, sampai sekarang, semangat yang menyala-nyala yang menjadikan tentara Belanda lari tunggang langgang dari indonesia ini tidak pernah tersampaikan kepada para generasi pelanjut. Belanda telah minggat karena sifat ksatria putra bangsa yang benar-benar tangguh berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Para cendekia, politisi dan tokoh militer rasanya patut berterimakasih kepada Buya Hamka, sosok ulama yang sangat memperhatikan generasi muda negeri ini.
Dalam karyanya Pribadi Hebat beliau menyampaikan, “Jiwamu Harus Kuat: Bebanmu Akan Berat jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!”
Namun, untuk memiliki generasi penerus bansa yang berkepribadian hebat kecerdasan adalah keniscayaan.
Oleh karena itu, usai 17 Agustus 2016 atau tepat sejak Indonesia telah merdeka selama 71 tahun, konsentrasi pemerintah, rakyat dan pengusaha harus mengarah pada terwujudnya gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bukan saja melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui momentum kebangsaan seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan dan hari lahirnya TNI harus dijadikan momentum untuk seluruh generasi bangsa meningkatkan kecerdasan, entah dengan gerakan membaca buku bersama tentang pikiran-pikiran pahlawan atau pun melakukan intropeksi kolosal untuk menyatukan energi bersama menjayakan bangsa dan negara. Ini jauh lebih rasional dan sangat kita butuhkan, jika benar-benar ingin negeri ini hidup di tangan rakyatnya sendiri. Wallahu a’lam.*
Wakil Ketua Penulis Muda Nusantara (PENA)