Oleh: Chusnatul Jannah
SEBAGAIAN kaum perempuan aktif mengkampanyekan perjuangan hak-hak perempuan. Mereka berjuang untuk menghapuskan diskriminasi dan penindasan yang dialamatkan kepada perempuan.
Kaum perempuan selalu dianggap kaum rendahan dan termarjinalkan dari kehidupan publik. Program pemberdayaan perempuan dan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang diagagas Barat, diterima sebagai solusi mengatasi problem perempuan di berbagai negeri Muslim tak terkecuali Indonesia.
Diawali sejak pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi hasil konferensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW, 1979) yang dikeluarkan melalui UU no.7 tahun 1984, hal ini menjadi acuan bagi penyelesaian segala macam persoalan perempuan.
Ide feminisme dan kesetaraan gender dianggap memberikan solusi berbagai persoalan yang mendera kaum perempuan.
Perlakuan yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan menjadi titik berat pembahasan mereka. Ide ini pun dijajakan untuk diadopsi bagi siapa saja yang menuntut kebebasan dan kesetaraan bagi perempuan.
Dalam perkembangannya, pejuang gender dan aktifis feminis kerap menuding Islam sebagai agama yang ‘menjajah’ kebebasan perempuan. Berbagai produk hukum Islam pun mereka gugat. Beberapa pasal dalam UU Perkawinan, UU PPLN (Perlindungan dan Penempatan Pekerja Luar Negeri), UU Perlindungan Nelayan, UU Kesetaraan dan Keadilan Gender, UU Kekerasan Seksual, UU Perlindungan PRT, dan UU Kesejahteraan Sosial mereka gugat pada tahun 2016 silam dengan alasan belum memperhatikan aspek keadilan gender.
Feminisme Hanya Ilusi
Secara historis, ide feminisme ini lahir dari kaum perempuan kelas menengah ke atas (golongan elit) yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan-pekerjaan rutin rumah tangganya di negeri-negeri Barat (terutama AS) pada tahun 1960-an dan 1970-an. Pada tahun 1963, Betty Friedan menerbitkan bukunya berjudul The The Feminine Mystique.
Dari sinilah dimulai kampanye persamaan kekuasaaan dan peran perempuan di segala bidang.Gerakan feminisme ini terus digencarkan hingga disebarluaskan tak terkecuali negeri-negeri Muslim yang menjadi sasaran. Mereka berpandangan peran domestik kaum perempuan adalah bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan dianggap pihak yang terjajah dalam hubungannya dengan laki-laki sebagai pihak penjajah.
Akibat gerakan feminisme dan kesetaraan gender ini, mulai muncul dampak yang ditimbulkan. Di Barat,kaum perempuan enggan berkeluarga, mereka lebih memilih menjadi wanita karir. Mereka lebih menyukai berhubungan bebas tanpa ikatan pernikahan. Memiliki keluarga dan anak dianggap memasung kebebasan dan aktualisasi diri. Bahkan di Jerman, akibat tumbuh suburnya paham feminisme, jumlah kelahiran semakin menurun dan tidak dapat mengimbangi besarnya angka kematian. Jika hal tersebut berlangsung sampai 50 tahun ke depan, maka Jerman akan menjadi negara penampung manusia jompo.
Ide ini pun pada akhirnya menjadi titik balik bagi kaum feminis – gender. Peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga ternyata memang dibutuhkan.
Gerakan feminisme yang cukup marak di Barat sejak 1960-an berefek pada peningkatan partisipasi angkatan kerja Di AS. Pada tahun 1950 partisipasi angkatan kerja meningkat sebesar 33% kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1980. Namun, angka perceraian di AS menunjukkan peningkatan hingga 100% pada rentang tahun 1963 dan 1975.
Pada tahun 2003, kecenderungan sebagian perempuan di AS untuk bekerja paruh waktu atau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga juga terjadi.
Ini berarti ide feminisme yang digaungkan Barat hanyalah sebuah ilusi yang dipaksakan diadopsi kepada para Muslimah. Saat Barat menyadari kelemahan ide ini, justru ide ini malah rajin dikampanyekan oleh aktivis Muslimah di negeri-negeri Muslim atas nama melindungi hak kaum perempuan.
Ide feminis yang sudah basi di negeri kelahirannya dijadikan mainstream di negeri para pengikut. Di negeri asalnya, ide feminisme sudah tidak laku lagi, tapi di negara berkembang ide ini menjadikemasan berharga yang layak diperjuangkan. Ide ini diambil menjadi solusi bagi kaum perempuan Muslimah. Namun, apa yang terjadi? Tatanan masyarakat justru rusak. Seks bebas, HIV/AIDS, dan kehancuran keluarga menjadi marak karena hilangnya peran Ibu dan Ayah.
Kaum perempuan harus bekerja keluar dari peran domestiknya demi mewujudkan kebebasan dan kemandirian ekonomi. Tak melulu bergantung kepada lelaki. Akibatnya peran Ibu sebagai pendidik dan pengurus rumah tangga ditinggalkan, anak terancam masa depannya dan tidak terdidik dengan benar. Sebuah upaya global untuk menghancurkan tatananmasyarakat terkecil yaitu keluarga atas nama kebebasan dan kemandirian.
Dengan dalih memberi solusi atas kenestapaan dan keterpurukan nasib perempuan, namun justru membuat jurang masalah yang semakin pelik untuk diselesaikan. Inilah akibat mengadopsi ide secara serampangan dan tanpa pertimbangan.
Maka dari itu, tak sepatutnya kita terjebak dengan isu feminisme dan kesetaraan gender dengan perjuangan dan pembebasan hak perempuan secara mutlak. Karena hal itu bertentangan dengan Islam.
Islam Sesuai Fitrah
Islam telah menetapkan kedudukan laki-laki dan perempuan secara adil dan sama dalam kapasitasnya sebagai hamba, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah: 71:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Islam juga menempatkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sesuai sifat dan karakter khususnya dalam rangka saling mengiringi bukan menyaingi.
Islam meletakkan peran domestik dan publik kepada perempuan secara seimbang. Dalam ranah domestik, kewajiban perempuan sebagai al umm warabatul bayt tak bisa disepelekan. Pasalnya, di tangan kaum perempuan (Ibu) kualitas generasi ditentukan. Tatkala tugas dan kewajibannya sebagai Ibu dan pengatur umah tangga diabaikan, maka generasi tak akan terdidik dan terurus dengan baik.
Sebagai Istri, mereka wajib taat kepada suami, bukan berarti segala perintah suami dituruti, namun perintah suami wajib ditaati selama tak menyalahi hukum ilahi. Adanya kehidupan suami istri bukan dalam rangka saling menentangi, akan tetapi saling melengkapi. Hubungan suami istri yang terjadi bukan ajang unjuk kekuatan, namun saling menguatkan.
Adapun dalam ranah publik, perempuan dalam Islam diwajibkan beramar makruf nahi munkar seperti halnya laki-laki. Amar makruf nahi munkar bisa diartikan berdakwah melakukan muhasabah kepada penguasa, mengoreksi kebijakan yang dzalim, menyeru diterapkan hukum Allah ini menjadi tugas laki-laki dan perempuan. Karena kewajiban berdakwah berlaku umum.
Selain itu, Islam tak pernah memberikan pengekangan dalam perkara –perkara umum yang berlaku pula untuk laki-laki. Semisal, menuntut ilmu, mengajar, bekerja dan sebagainya. Islam membolehkan setiap Muslimah bekerja dalam keahliannya semisal, menjadi guru, dokter, perawat, dosen dan sebagainya dengan syarat tak melalaikan kewajiban utama sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Karena bekerja dalam pandangan Islam adalah perkara mubah, sedang tugas utama sebagai ibu dan pengurus rumah tangga adalah perkara wajib.
Jika Barat saja menyadari kelemahan ide feminisme yang menjadi bumerang bagi mereka, lalu mengapa kita masih saja mengadopsi dan mengkampanyekan hak-hak perempuan dengan balutan feminisme dan kesetaraan gender? Hak-hak sebagai perempuan kita dapatkan secara berkeadilan tatkala Islam menjadi pengaturnya. Fitrah laki-laki dan perempuan itu berbeda. Itulah mengapa Allah ciptakan mereka agar saling bersanding bukan bertanding.
Sebagaimana siang dan malam, fungsi mereka berbeda namun menciptakan sinergitas yang luar biasa. Bila laki-laki cenderung bertindak mengikuti nalar, maka hal itu diimbangi dengan sosok perempuan yang cenderung mengikuti perasaaan. Keteraturan peran laki-laki dan perempuan itu sudah Allah gariskan sesuai fitrah dan kemampuan masing-masing. Tak perlu mencari contoh yang lain. Apalagi mengadopsi ide feminisme yang sejatinya lahir dari pemikiran Barat. Dengan Islam sudah cukup menjadi teladan dalam kehidupan.*
Lingkar Studi Perempuan Peradaban – LSPP