Oleh: Naspi Arsyad
BELUM kelar betul kita mencerna musabab rasional ditetapkannya Buni Yani sebagai tersangka dan mencari jawab kenapa panjang sekali tarik ulur penanganan kasus penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pertanyaannya, apakah memang kasus ini hanya persoalan kecil semata?
Kalau pertanyaan tersebut diajukan kepada umat Islam yang merasa tersinggung kitab sucinya dinista, mereka tentu akan menyatakan ini problem serius. Sangat serius.
Jutaan umat kemudian turun ke jalan. Tidak saja di Jakarta, nyaris merata secara nasional aksi unjuk rasa seluruh Indonesia menuntut penista Al-Qur’an segera ditangkap dan diadili sebagaimana diberlakukan pada kasus-kasus penistaan agama sebelumnya.
Sayangnya, antisipasi merebaknya kerawanan nasional tidak segera diambil. Polisi dianggap lamban bertindak. Ini akhirnya melahirkan gerakan bernama Aksi Bela Islam. Ada jilid satu, jilid dua, dan insya Allah, pada 2 Desember nanti digelar aksi bela Islam jilid tiga.
Rupanya, dampak lanjutan dari kasus penodaan agama tak berhenti di situ. Belakangan kemudian muncul seruan gerakan menarik uang secara bersama-sama dari tabungan masing masing dalam jumlah besar dalam waktu yang hampir bersamaan.
Ajakan “Rush Money” itu tak pelak menimbulkan kepanikan luar biasa. Di grup-grup Whatsapp berseliweran foto orang menarik uangnya di bank. Agar tak semakin mencemaskan, polisi turun tangan.
Polisi segera memburu pihak-pihak yang dianggap sebagai provokator rush money. Sejumlah nama disebut sebagai dalang. Abu Uwais, salah satu nama yang akhirnya diciduk.
Wajar jika ada kekhawatiran. Bagaimana tidak, jika aksi ini benar-benar terjadi dan meluas, akan menimbulkan dampak negatif multi aspek yang sangat tidak sederhana.
Nalar jungkir balik
Fitrah manusiawi kita menghendaki adanya rasa aman dan kertiban umum. Itulah mengapa kemudian umat Islam terdorong menyuarakan penegakan hukum terhadap tindakan penistaan agama.
Siapa yang tak tersinggung kitab sucinya dinista. Namun, kendatipun disakiti, umat Islam tetap sabar. Selalu ada pintu maaf, kendati si tersangka sempat menampik dengan keras dan mengelak meminta maaf.
Beliau akhirnya minta maaf. Umat Islam memaafkan. Tetapi setiap tindakan memiliki konsekwensi hukum. Proses hukum harus tetap berjalan. Penegakkan hukum seadil-adilnya harus dijunjung tinggi. Tanpa kompromi.
Tapi, naifnya, umat Islam yang telah menempuh jalan yang sangat demokratis dan konstitusional, malah diidentifikasi sebagai kelompok anti-kebhinnekaan dan ingin merongrong NKRI. Adanya parade layaknya “aksi tandingan”, menjadi glorifikasi yang seolah ingin menegaskan itu.
Tidak berhenti. Umat Islam yang ingin menyuarakan pendapatnya di muka umum semakin didemoralisasi berupa tudingan sumir lagi tendensius dengan menyebut komitmen damai itu sebagai aksi makar.
Apa yang terjadi kemudian bisa dilihat sendiri. Nalar kita benar-benar dibuat jungkir balik. Tentu kita tidak terlalu tolol untuk mencerna secara rasional beragam fragmen yang tersaji kemudian, mulai dari soal Buni Yani dan makar-makaran itu.
Persoalan besar
Kendati berbagai upaya dilakukan untuk meredakan gejolak yang sudah terlanjur memantik dalam kasus penodaan agama ini, tidak akan efektif meredam hingar bingar ini selain dengan penegakan hukum itu sendiri.Tentu hukum yang berkeadilan. Tidak senjang.
Karena itu, kita rasanya menyesalkan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jenderal Polisi Syafruddin yang pernyataanya beberapa waktu lalu seakan-akan mengesankan bahwa kasus penistaan agama sebagai persoalan kecil.
“Jangan sampai kita tercerai berai akibat masalah kecil,” kata Komjen Polisi Syafruddin melalui keterangan tertulis di Jakarta,dikutip Antara, Jumat.
Kita sangat sepakat dengan penyampaian beliau bahwa Indonesia mendapatkan limpahan anugerah kekayaan sumber daya alam maupun sumber daya manusia terlebih jumlah umat Islam terbanyak di dunia.
Seruan beliau kepada para tokoh agama, ulama, kiai dan habib agar turut menjaga limpahan sumber daya yang dimiliki Indonesia harus pula disambut baik.
Dan, Alhamdulillah kita bisa melihat sendiri peran ulama dan lembaga Islalm merawat hal tersebut diantaranya misalnya dengan kemenangan gugatan ummat yang dipelopori Muhammadiyah terhadap UU Migas No 22 Tahun 2001 dan UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Dengan dikabulkannya gugatan kedua UU tersebut oleh MK, maka pendayagunaan migas dan air, manfaatnya harus benar-benar dirasakan rakyat.
Sehingga naif rasanya jika Wakapolri malah mempertanyakan maksud dan tuntutan masyarakat Indonesia yang menuntut penegakan hukum yang berkeadilan. Sebagai umat mayoritas, wajarlah kiranya umat Islam berkebaratan kitab sucinya dinista sedemikian rupa.
Kita menyesalkan adanya anggapan bahwa tindakan penodaan agama dalam hal ini kitab suci Al Qur’an merupakan kasus kecil. Kasus penodaan agama ini jelas merupakan masalah besar dan tidak remeh yang telah menimbulkan kegaduhan nasional.
Kasus penodaan agama ini telah menimbul keresahan di mana-mana. Mengganggu stabilitas nasional. Jadi tidak bisa dianggap masalah kecil.
Bagi kita masalah agama adalah perkara tertinggi bagi setiap orang yang beragama. Bukankah kekerasan terhadap muslim minoritas etnis Rohingya di Myanmar yang sudah berpuluh tahun dilatari faktor agama.
Bukankah pengusiran kaum muslimin dari Andalusia, Spanyol, juga dilatari faktor agama. Maka, apa yang dipahami oleh pak Wakapolri dengan ajakannya untuk menjaga anugerah yang diberikan oleh Allah kalau anugerah agama tidak termasuk di dalamnya.
Setiap orang yang beragama sangat meyakini bahwa agama adalah hal mutlak dalam hidup mereka. Secara khusus umat Islam, agama jauh lebih bernilai dibanding kehidupan itu sendiri.
Imam Ibnu Taimiyah mengisyaratkan bahwa agama jauh lebih penting dibandingkan terbitnya matahari di pagi hari.
Agama adalah absolute rule yang tidak sekedar berisi larangan dan perintah, tapi juga mengantarkan pada ketenangan jiwa, kebahagian hakiki di dunia dan akhirat.
Kalau seperti ini cakupan agama, maka apa lagi yang lebih besar dari itu?
Ketua Umum PP Syabab Hidayatullah