Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | ANIES selalu diberitakan. Diberitakan dengan fair dan unfair. Diberitakan dengan baik, dan diberitakan juga dengan tidak baik, bahkan dengan nada kasar biadab.
Khususnya di media sosial, nama Anies itu menjual, baik ditulis dengan baik, maupun buruk. Kedua jenis berita itu dibaca sebagai konsumsi publik. Mungkin hanya Anies yang marketable, tidak ada yang menyamainya.
Karena itu, lewat Anies, tentu tanpa diniatkan, bisa memetakan siapa “gue” siapa “loe”. Bahkan media pun mau tidak mau terseret oleh kepentingannya masing-masing.
Maka sulit mencari media bisa berimbang, obyektif dan fair melihat Anies dan kinerjanya sebagai gubernur DKI Jakarta. Dan, lalu muncul protes publik yang melihat pemberitaan dengan tidak sebenarnya.
Adalah Habib Nabiel Almusawa, seorang yang tidak biasa mengumbar pendapat bersifat politis, lalu muncul protes di Twitternya. Katanya…
“Ini aneh betul detikcom ini, Jakarta yang sehari langsung surut dikomen terus tiap hari… Sementara Jateng yang sampai sekarang sudah berhari2 tunggakan gak dibahas tiap hari… Kritis itu amat bagus dan diperlukan buat siapa pun, tapi berimbang dan proporsional tetap harus dijaga…”
Habib Nabiel melihat ketidakfairan media dalam pemberitaan. Dan tentu itu dirasakan juga oleh publik luas, yang berharap mendapat berita disajikan apa adanya, bukan ada apanya.
Baca: Tak Sekedar Banjir, Tapi Upaya Pembusukan Sistematis
Anies itu sendiri memang berita yang tidak diada-adakan, bahkan berita yang diada-adakan. Anies lempeng saja jalan tanpa hirau ia sedang dibicarakan dalam kisah yang sebenarnya, atau yang diada-adakan.
Konsekuensi memimpin itu disadari benar oleh Anies, maka saat karyanya diapresiasi itu satu momen, dan saat ada hal yang dirasa kurang lalu mesti dikoreksi, itu juga momen lainnya. Menyanjung dan sebaliknya mencibir Anies itu tidak menyebabkan dirinya terbang tinggi karena sanjungan, atau seolah terhempas jatuh karena cibiran.
Dua momen itu disikapinya dengan sewajarnya. Bahkan pada momen dinista dengan kata yang tidak sewajarnya pun Anies tidak meresponsnya. Itulah kelebihan yang dimiliki Anies. Tidak banyak pemimpin tingkat apa pun yang bisa memainkan situasi yang dihadapi dengan emosi yang terjaga.
Ada peristiwa menarik saat kunjungan di daerah Rawah Buaya, lalu salah satu RT bernama Pak Yusuf, memberi semacam testimoni, “Genangan air yang surut di RT Rawa Buaya tergolong cepat. Banjir terjadi hari Sabtu dan Minggu malam air sudah surut karena penanganan cepat.”
Tambahnya, “Satu kekurangan Pak Anies, ia tidak punya buzzer.” Mungkin maksudnya, media yang benar-benar memberitakan banjir Jakarta dengan sebenarnya.
Baca: Anies Presiden, Jakarta Bebas Banjir, In Syaa Allah
Diserang Isu Rasisme
Adalah Ferdinand Hutahaean, aktivis media sosial, yang tampak ingin menyejajarkan diri dengan Anies Baswedan. Maka dilihat dari aspek apa pun ya gak akan sampai apalagi menyamai.
Maka laku yang diikhtiarkan selalu menyerang Anies layaknya buzzerRp. Mungkin berharap Anies meresponsnya, tapi sampai saat ini keinginannya itu belum kesampaian. Anies tidak meresponsnya.
Terus ia mencobanya dengan narasi bengis tidak selayaknya, pun Anies tidak meresponsnya. Namun justru ia mendapat cibiran netizen atas ucapan via Twitternya. Ferdinand memang jenis ndablek dan kesan sok nekatnya ditampakkan. Merasa yakin terlindungi, seolah hukum tidak akan menjeratnya.
Putri Jusuf Kalla (JK) pun melaporkannya ke Bareskrim Polri, karena menghina sang ayah. Itu pun mentah, setidaknya sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari laporan itu bisa menyentuh seorang Ferdinand. Pikirnya, apalagi Anies Baswedan.
Lalu karena itu, lakunya tampak kebablasan. Ferdinand mulai menyentuh Anies dengan laku primitif, mengumbar syahwat kebencian, memancing agar mendapat respons. Ia mulai mengumbar narasi rasisme.
Setidaknya dua kali ia ucapkan narasi rasisme itu. Yang pertama, saat dialog dengan Geisz Chalifah, di RRI, ia ucapkan kata Arab, yang menyamakan Geisz dengan Anies. Kedua di Twitternya mengolok-olok Anies seperti biasanya, lalu mengatakan bahwa Anies layak jadi presiden Hadramaut Yaman, tidak untuk presiden Indonesia.
Rasisme itu primitif, dan ditolak oleh peradaban. Pernyataan rasisme itu biasanya keluar dari mulut pengecut yang tidak mampu berargumen dengan akal sehat. Lalu memilih jalan pintas dengan laku primitif menyerang etnis, golongan, dan agama seseorang.
Setidaknya sampai saat ini, Anies pun tidak menanggapinya. Pilihan Anies menanggapi apa yang perlu ditanggapi, dan tidak menanggapi apa yang tidak semestinya ditanggapi, itu pilihan-pilihan cantik. Dan pernyataan rasisme Ferdinand itu jika diibaratkan seperti sampah dikerubuti lalat, menjijikkan jika mesti direspons.
Baca: Anies Penghibur Jokowi yang Baik
Ada Jejak Darah Kepahlawanan
Ferdinand Hutahaean pastilah tidak memiliki kepintaran memadai. Ia cuma bermodalkan nekat saja, karena merasa terlindungi. Upaya membodoh-bodohkan Anies, itu bak seseorang yang tidak mampu melihat sendiri tengkuknya. Nasionalisme Anies itu jejaknya ada sebelum negeri ini bernama Indonesia.
Bagus juga jika Ferdinand dan para buzzerRp, itu mau membaca sejarah bangsa ini. Di situ ada jejak Anies Baswedan lewat sang kakek Abdurrahman Baswedan, biasa dikenal dengan A.R. Baswedan. Ia salah seorang Pahlawan Nasional.
Agar sampai dapat mengenal nasionalisme keluarga Baswedan ini, maka dua buku mengulas tentang A.R. Baswedan patut dikonsumsi. Pertama, Biografi A.R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan, karya Suratmin dan Didi Kwartanada. Buku satunya tentang tulisan-tulisan lepasnya, berjudul A.R. Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis, karya Nabiel A. Karim Hayaze’.
Perlu pula membaca jika mau hunting sedikit susah, buku Sumpah Pemuda Keturunan Arab (1934), A.R. Baswedan. Dengan membaca sejarah, maka pikiran tidak cupet dan hati jadi jembar. Dengan demikian, tidak ada lagi umpatan rasisme jadi pilihan.
Dalam darah Anies Baswedan ada jejak sejarah yang ditorehkan sang kakek, A.R. Baswedan, dalam perjuangan bangsa ini menjadi Indonesia. Anies dan juga Novel Baswedan (KPK) mewarisi sikap keteladanan sang kakek.
Jadi berhentilah memakai rasisme untuk menyerang seseorang, siapa pun itu, dan dari etnis dan agama apa pun. Zaman primitif sudah tertinggal jauh di belakang, dan jangan pernah mundur menziarahinya, agar laku buruk itu tidak ditinggal oleh komunitas beradab. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya