Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
PERANAN umat Islam dalam sejarah pembentukan dan perkembangan bangsa dan negara ini sangat besar. Jika boleh dikatakan, kontribusi umat Islam terhadap bangsa dan negara yang bernama Indonesia ini ‘terlalu’ banyak.
Diantara kontribusi itu adalah tentang perumusan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang ternyata diawali dengan proses sejarah konseptualisasi Pancasila ditandai sejak awal oleh kemunculan berbagai organisasi pergerakan kebangkitan (Muhammadiyah, NU, Perhimpunan Indonesia, Syarikat Islam, dan yang lainnya). (Lihat, MPR RI, Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2016), 27).
Namun Pancasila tidak lah konsep yang fleksibel, sebagaimana dimaknai bahkan ditafsirkan secara bebas oleh banyak pihak. Dimana seorang sarjana Kristen semacam Prof. Dr. Drijarkoro, misalnya, menyatkan, “Negara yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara agama, tetapi bukan negara profan, sebab dengan Pancasila, kita berdiri di tengah-tengah.” (Lihat, Dr. Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1430 H/2009 M), 85). Tentu saja pandangan ini amat keliru dan menyesatkan. Karena Indonesia ini negara yang dasarnya adalah agama, bukan sekularisme. Itu sebabnya Sila Pertama berbunyi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Berarti dasar negara Indonesia adalah ‘ketuhanan’, bukan tanpa Tuhan alias sekular.
Ketuhanan yang Maha Esa, Ya Tauhid!
Di dalam Sila Pertama disebutkan bunyinya, ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Apakah maksudnya? Apa maknanya? Apa hakikatnya?
Semua tokoh Muslim dapat meyakini bahwa Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mengandung makna Tauhid, bukan profan, sekular alias konsep tanpa Tuhan. Ini pasti keliru besar dan mengarah kepada penghancuran falsafah bangsa, ideologi bangsa. Karena makna dari Sila Pertama itu adalah ‘Tauhid’: pengesaan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala. Ini yang sampai saat ini diyakini oleh seluruh umat Islam. Sebagaimana yang dipahami oleh para tokoh para founding fathers bangsa ini. Karena sejak tahun 1945, tokoh Islam tetap bertahan pada posisi semula, bahwa konsep “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah konsep Ketuhanan yang memiliki makna konsep Tauhid, yaitu konsep Ketuhanan dalam Islam yang mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, ditaati, dan dipuja.
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dimaknai dengan pemahaman, bahwa “Tuhan tidak ada, karena Tuhan hanya ilusi pikiran manusia”. Karena itu, konsep Tauhid tidak mungkin dapat hidup damai dengan ateisme. (Dr. Adian Husaini, Pancasila, 137).
Nah, berkaitan dengan hal ini, penting kiranya memahami kembali apa yang disampaikan oleh Rais Aam NU, KH. Achmad Siddiq dalam satu makalahnya yang bertajuk“Hubungan Agama dan Pancasila”. Beliau menulis,
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima denan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian Tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surah al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dalam buku Sudjangi (Penyunting),Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990 (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992), 262, dalam Dr. Adian Husaini, Pancasila, 137-138).
Keyakinan inilah yang sampai hari ini – Insya Allah sampai generasi Muslim di negeri ini – sudah “berurat-berakar” dalam nadi umat Islam. Bahwa Sila Pertama itu konsepnya adalah Tauhid, bahwa Allah itu itu Satu (Wahid) sekaligus Esa (Ahad). Maka, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pasti Tauhid. Tidak ada tafsiran yang lebih kuat dari ini. Maka umat Islam wajib meyakininya dan memperjuangkannya. Karena jika ia tak tegak di negeri ini maka aqidah umat ini berada dalam ancaman dan marabahaya.
Toleransi Dibalas dengan Tamparan
Kalimat ‘Toleransi Dibalas dengan Tamparan’ adalah pernyataan pemikir dan ulama besar Nusantara, Buya Hamka, dalam bukunya Dari Hati ke Hati. Karena pentingnya, maka penulis kutipkan seluruhnya bagi para pembaca. Hal ini agar jadi renungan buat kita semua dan generasi mendatang. Penulis kitab tafsir fenomenal, Tafsir Al-Azhar ini menulis dengan tegas dan berani sebagai berikut:
“Kita kaum Muslimin sebagai golongan terbesar jumlahnya di negeri ini telah menerima dengan puas dasar negara Pancasila. Sebab, selalu dijelaskan bahwa sumber sila yang empat ialah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kita pun bersenang hati karena merasa bahwa dengan dasar pertama itu kehidupan agama kita dalam negeri ini telah terjamin. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah i’tikad dan kepercayaan kita. Pegangan kita, hidup dan mati, dunia dan akhirat. Yang Maha Esa menurut kepercayaan kita ialah tidak bersekutu dengan yang lain, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak lagi dalam satu dan satu dalam tiga, sekali lagi menurut kepercayaan kita. Tidak Tuhan yang bingung karena melihat dosa Adam memakan buah yang terlarang, bingung di antara sifat Kasih-Nya dan sifat Adil-Nya sehingga beribu tahun lamanya Dia kebingungan. Akhirnya mendapat keputusan, yaitu datang sendiri ke dunia, menjelma ke dalam tubuh perempuan suci yang bernama Maryam, lalu lahir ke dunia menjadi anak. Tegasnya, Bapak itu menjelma menjadi anak.
Tuhan yang bingung beribu tahun, lalu mengambil keputusan sangat ganjil, yaitu bapak lahir ke dunia menjelma menjadi anak, lalu Tuhan itu karena kasihnya kepada manusia memberikan dirinya mati di atas kayu palang (salib). Kepercayaan demikian, menurut kita kaum Muslimin adalah kepercayaan yang membingungkan. Untuk memercayai kepercayaan itu orang wajib terlebih dahulu membekukan pemikirannya, baru bisa menerimanya.
Alhamdulillah, kita tidak menganut kepercayaan demikian. Bagi kita adalah ucapan laa ilaaha illallaah, Tidak ada Tuhan melainkan Allah. Esa Dia pada sifat-Nya, Zat-Nya, dan pada perbuatan-Nya.*>>> (BERSAMBUNG) Pertama | Kedua | Ketiga