Sambungan artikel KEDUA
Setelah berdialog dengan tenang, pertemuan habis dan Bapak Pendeta pulang sesudah bersalam-salaman. Namun, rupanya belum habis, Guru Djam’an dipanggil ke kantor polisi, rupanya ada laporan bahwa beliau propaganda anti-Pancasila.
Beruntung bagi Guru Djam’an sebab kebetulan polisi yang memeriksanya adalah salah seorang bekas muridnya yang mengenal baik beliau dan perjuangan beliau hidup beliau. Seorang kiai, seorang guru dari beberapa profesor dan dokter dalam hal agama. Dengan segala hormat beliau pun disuruh pulang saja.
Untunglah polisi yang menerima laporan itu mengenal baik Guru Djam’an, kalau tidak? Kalau ia seorang alat zending dan misi, apakah yang akan terjadi dengan diri Guru Djam’an?
Tidaklah mustahil pada akal, dalam beberapa tahun lagi, kalau umat Islam masih saja lalai dalam mempertahankan pokok aqidahnya bahwa nasib kita di sini akan sama dengan nasib umat Islam di Ethiopia. Golongan minoritas suku Amhara, yaitu suku Kaisar Haile Selassi sendiri menindas umat Islam, dan menjalankan rencana mengkristenkan mereka dengan seluruh alat kekuasaan yang ada. Apalagi kalau umat Islam di sini masih saja bercakar-cakaran karena perebutan pengaruh sesamanya, kadang-kadang dalam perkara sepele, perkara Qunut Shubuh atau tidak Qunut, perkara di-talaffuzh-kan (diucapkan) niat atau tidak, dan sebagainya.
Camkanlah Ini, Saudaraku Kaum Muslimin!
Kalau sudah berani mengempung tempat mengajarnya seorang kiai besar ternama, muballigh dan guru agama Islam yang telah berjuang sejak kecil untuk menegakkan Tauhid dalam negeri ini, bagaimana dengan kita?
Seorang muballigh juga datang mengadukan perihalnya bahwa di waktu perayaan Maulid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, di sebuah SMA di Tanjung Priok, dia bertabligh menerangkan arti surah al-Ikhlash; “Qul huwallaahu Ahad, Allaahus shamad, lam yalid walam yuulad, wa lam yakul lahu kufu-an Ahad.” (Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia).”
Qul huwallaahu Ahad adalah pegangan kita, ini puncak aqidah kita. Sebab anak-anak yang hadir sebagian besarnya, atau hampir semuanya orang Islam, muballigh guru itu merasa wajib menafsirkannya di hadapan anak-anak itu.
Namun, apa yang terjadi? Guru-guru agama Kristen yang turut mengajar di sekolah itu menyampaikan protes kepadanya, mereka keberatan mengapa itu dibuka. (Minta dicabut? Atau, jangan lagi buka-buka soal itu?)
Sudah Sampai Begini Sekarang, Saudaraku Kaum Muslimin
Kita disuruh toleransi. Toleransi dengan tafsiran bahwa kita jangan atau lebih aktifnya dilarang menerangkan aqidah kita, siapa yang berani menerangkan aqidah kita, rumahnya bisa dikepung atau ia bisa
Di kala jayanya Soekarno di tahun 1960 pernah penulis berkhutbah di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru mengatakan, “Islam dalam bahaya.” Yang saya maksud tentu bahaya komunis dan bahaya zending atau misi Kristen yang telah menyerbu dengan segala kekuatan uang, pengaruh, dan kekuasaan.
Rupanya perkataan saya itu sangat menyinggung hati beliau sehingga dalam salah satu pidatonya pada sambutan Maulid Nabi Saw., perkataan saya itu disambutnya, “Ada orang yang mengatakan ‘Islam dalam bahaya’. Orang yang berkata itu sendirilah yang sekarang dalam bahaya.”
Tidak berapa lama kemudian saya pun ditahan, disisihkan dari masyarakat, dituduh menyusun satu gerakan gelap hendak membunuh Soekarno.
sekarang masih tetap berkeyakinan bahwa ‘Islam dalam bahaya’. Dahulu bahaya komunis, sekarang bahaya zending dan misi Kristen yang menumpah dan menumpukkan seluruh kekuatannya buat mengkristenkan umat Islam dalam negara kita ini. Saya tidak membenci kawan sebangsa yang berlainan agama, tetapi saya menentang subversif keruhanian yang datang dari luar.
Sebagai putra Indonesia, saya setia pada Pancasila, apalagi dasar pertama ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bukan saja saya, apalah arti saya. Namun, seluruh umat Islam dan pemimpinnya yang belum bisa dibeli oleh bujukan dunia, akan tetap menegakkan toleransi dalam negeri ini. Akan tetap berkasih-sayang dengan pemeluk agama lain. Namun, saya dan seluruh kaum Muslimin akan menentang seluruh aksi dan seluruh kecurangan yang dilancarkan dengan nama agama.
Yang digunakan untuk menggoyah dasar aqidah Islam, yaitu tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammadadalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Untuk inilah hidup kita berikan, dan dengan ini pula kita akan menutup mati, Insya Allah.” (Buya Hamka, Dari Hati ke Hati (Jakarta: Gema Insani Press, 1437 H/2016 M), 177-182).
Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak memberi celah kepada penafsiran lain. Karena inilah umat Islam sejak dulu sepakat bahwa Sila Pertama ini dapat diterima dengan penuh toleransi, kelapangan dada, dan kebesaran jiwa. Maka Mohammad Natsir (w. 6 Januari 1993) pun menegaskan pandangannya ketika mengkritisi pandangan Soekarno,
“Bagi seorang sekularis soal Ketuhanan, sampai kepada soal Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan wahyu; baginya, soal Ketuhanan adalah soal ciptaan manusia berganti-ganti.” (Yusron R (ed.), Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), 25).
Maka, umat Islam Indonesia harus tetap mengawal Sila Pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena ia telah menjiwai aqidah mereka yang mengesakan Allah Swt. Bahwa Allah itu Esa: Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Maka, Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukan sila yang liar, tetapi konseptual: Tauhid! Wallāhu Aʻlam bis-Shawāb.[]
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan, Sumatera Utara