Hidayatullah.com—Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof Dr Mahfud MD membeberkan sumbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjaga negara dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Mahfudz, di awal reformasi, sejalan dengan desakan membangun demokratisasi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, muncul wacana demokratisasi untuk daerah, sehingga muncul gagasan negara federal.
Sayangnya, usulan negara federal ini, kata Mahfud, tidak disetujui karena Indonesia sudah sepakat membentuk negara kesatuan (NKRI). Akan tetapi, akhirnya dibuat Undang Undang terkait Otonomi Daerah.
“Oke kita negara kesatuan, tapi urusan-urusan harus diserahkan ke daerah, kecuali lima: Moneter dan Fiskal, Diplomasi (politik luar negeri), Pertahanan, Keamanan, dan Peradilan (hukum),” ujar Mahfudz dalam acara “Halalbihalal 1444 H Majelis Ulama Indonesia” yang digelar di Ballroom Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (18/5/2023).
Menurut Mahfudz, saat itu UU Otonomi Daerah sudah hampir disahkan. Namun beberapa hari sebelum sidang pleno, pimpinan MUI datang menemui pemerintah dan DPR untuk mengajukan agama sebagai urusan pusat.
“Pak, kalau mau menjaga NKRI ini yang menjadi urusan pusat jangan hanya yang (lima) tadi, tambah satu lagi yaitu urusan agama, urusan agama itu harus menjadi urusan pusat, tidak boleh diotonomikan,” kata Mahfud menyampaikan ceritanya di acara bertajuk “Merajut Solidaritas Umat untuk Membangun Bangsa” itu.
Menurut Mahfudz, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menambahkan agama sebagai urusan pusatnya. “Kenapa? Karena kalau urusan agama diotonomikan bisa pecah negara ini, setiap daerah bisa-bisa memiliki Perda masing-masing,” lanjutnya sebagaimana dikutip laman mui.or.id.
“Ini (usulan agama menjadi urusan Pemerintah Pusat) sumbangan Majelis Ulama Indonesia yang menjadi Undang Undang No. 22 Tahun 1999,” tambahnya lagi.
Berbicara terkait solidaritas umat, Mantan Ketua MK itu mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus terus bersatu dan solider terlepas dari adanya berbagai perbedaan dan kepentingan.
“Karena umat itu harus dipersatukan kembali, karena tadi, ada perbedaan kepentingan, persaingan, dan sebagainya. Persaingan boleh ada tetapi tetap di dalam ikatan kesatuan, solider, untuk satu tujuan yang sama yang lebih besar, yaitu membangun bangsa,” kata ia. “Bahwa kita sebagai satu bangsa itu adalah makhluk Tuhan yang dulunya bersatu, dan harus terus bersatu kalau ingin maju, kalau dalam lingkup geopolitik kita menjaga NKRI, kalau untuk dunia kita menjaga hubungan antarmanusia,” tandasnya.*