Hidayatullah.com – Kementerian Komunikasi Suriah telah mengumumkan membuka pemblokiran puluhan situs yang diblokir oleh rezim Assad yang digulingkan.
Selain membuka blokir, pemerintah juga berupaya meningkatkan kecepatan internet untuk memastikan semua warga negara memiliki akses ke komunikasi yang lebih baik, kata Menteri Komunikasi Suriah Hussein al-Masri.
Larangan terhadap konten pro-revolusi, yang telah diblokir oleh rezim sebelumnya, juga dicabut.
“Kami telah membatalkan batas kecepatan internet di provinsi-provinsi seperti Daraa dan Quneitra untuk meningkatkan kualitas internet dan memfasilitasi akses ke informasi dan layanan elektronik,” katanya.
“Kami telah mencabut pemblokiran situs-situs yang mendukung revolusi Suriah untuk meningkatkan kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi,” imbuh Hussein.
Berikutnya, kementerian ingin kembali menghubungkan komunikasi yang lebih baik antara provinsi Suriah utara dengan provinsi lain, setelah selama bertahun-tahun terpisah.
“Kami selalu berusaha untuk mengambil langkah-langkah yang berkontribusi untuk meningkatkan kehidupan warga di Suriah yang bebas,” tambahnya.
Langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari rencana pemerintahan baru untuk mengatasi masalah-masalah yang belum terselesaikan dan mengelola fase transisi.
Menurut laporan tahun 2020 dari Freedom House, sebuah organisasi Amerika Serikat yang mendukung demokrasi di seluruh dunia, kebebasan internet di bawah pemerintahan Assad sangat dibatasi dengan penindasan pemerintah terhadap perbedaan pendapat yang mencapai titik tertinggi sepanjang masa.
Organisasi ini mengatakan bahwa jurnalis dan aktivis online secara teratur menghadapi penangkapan, penahanan, dan penyiksaan.
‘Penjatahan internet’ juga diterapkan oleh rezim Assad yang kini telah digulingkan di tengah perang dan krisis ekonomi, yang membatasi jumlah data yang dapat digunakan oleh warga negara setiap bulannya.
Jika melebihi ambang batas koneksi broadband, kecepatannya akan dikurangi, dengan kenaikan harga yang besar.
Hal ini, menurut organisasi ini, merupakan pengekangan lain terhadap kebebasan sipil dan hak-hak politik di negara tersebut.
Sebagian besar aktivis di negara ini melakukan sensor diri dan menyembunyikan identitas mereka untuk mencegah penindasan atau penganiayaan dari sumber-sumber keamanan di bawah Assad.
Freedom House menyatakan bahwa infrastruktur telekomunikasi Suriah merupakan salah satu yang paling tidak berkembang di wilayah Timur Tengah, dengan kerusakan infrastruktur akibat pengeboman yang juga menjadi faktor utama.
Pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa telah berulang kali berjanji untuk mempertahankan kebebasan di negara tersebut setelah kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham menggulingkan rezim Assad pada bulan Desember.*