Hidayatullah.com–Saat masyarakat ramai berorasi menuntut hak-hak dan keadilan untuk para buruh pada peringatan international labour day, PCI-NU Pakistan menggelar bahtsul masail terkait outsourcing dalam perspektif hukum positif dan fiqh.
Acara bahtsul masail yang melibatkan masyarakat Indonesia di Pakistan, dan mayoritas mahasiswa Indonesia di Pakistan itu dihelat pada Kamis (01/05/2014) sor kemarin.
Hadir sebagai perumus materi saat itu adalah saudara Muhammad Hatta Fahamsyah, mahasiswa pasca sarjana jurusan Islamic Banking and Finance di International Islamic University Islamabad.
Menurut Hatta, outsourcing saat ini memang masih menjadi polemik. Di satu sisi menganggap adanya ketidakadilan pada konten regulasi perundang-undangan yang terkait, di sisi lain timbulnya kebijakan-kebijakan yang dianggap sepihak dari perusahaan tertentu yang memicu tuntutan dari para buruh untuk ditegakkannya keadilan demi meraih hak-hak paten mereka, terutama kesenjangan dalam hal gaji.
Menurut Hasanuddin Tosimpak, selaku ketua Lakpesdam, sebenarnya tidak ada kontra antara undang-undang ketenagakerjaan pasal 88 dan 89 secara prinsip dengan UUD 45.
Yang perlu dilihat adalah praktek yang terjadi di lapangan. Seperti demo buruh yang merasa dirugikan, tidak dipenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan kesenjangan gaji antara karyawan tetap dan non-tetap menjadi isu yang terus bergulir.
Menanggapi hal tersebut, H. Muladi Mughni, L.LM., Mustasyar PCI-NU Pakistan menegaskan bahwa dalam mengkaji konsep outsourcing perlu dilihat secara konseptual dan praktik di lapangannya.
Karena boleh jadi konsepnya baik namun secara aplikasinya telah terjadi banyak penyelewengan. Secara teori sebenarnya sistem outsourcing bisa dianalogikan dengan konsep Ijarah dalam fiqh klasik (Al-Ijaroh ‘Alal Maushufah fi-Adzimmah) yang melibatkan partisipasi antara 3 pihak (tenaga ahli/buruh, penyedia jasa dan pengguna jas).
Atau dalam analogi yang lain hampir mirip –sekalipun berbeda secara konsep- dengan Ba’i al-Murabahah lil-‘Amir bi-Syira (Jual beli Murabah bagi nasabah pemesan produk).
Kesamaannya adalah pada aspek adanya intermediasi antara pihak pengguna barang/jasa dan tenaga ahli/objek konsumen, selain juga adanya unsur imbalan secara materil baik pada Ijarah (ujrah) maupun Murabahah (ribh). Selama tidak terjadi pelanggaran syariah baik dalam aplikasinya, akad kontrak, terbebas dari unsur penipuan, kedzaliman dan lain-lain, maka jenis mu’amalah ini tidak dilarang oleh agama.
Secara umum menurut Muladi, Maqashid syariah dalam bidang mu’amalah selalu menitikberatkan pada aspek keadilan dan penjagaan atas harta kekayaan (property). Sistem keadilan dan penjagaan terhadap property ini juga harus ditempatkan pada kepentingan (maslahat) dua kelompok, baik itu pekerja (buruh) maupun pengguna jasa (perusahaan/perorangan).
Sehingga tidak benar jika isu-isu terkait tuntutan keadilan seolah-olah hanya menjadi hak kaum buruh yang harus diperjuangkan, sehingga sangat jarang orang mau melihat aspek keadilan inipun sesungguhnya juga merupakan hak yang harus dinikmati oleh para pengguna jasa (perusahaan/perorangan).
Dari sinilah sesungguhnya fikih Islam bersikap fleksibel, kapan keadilan itu ditempatkan secara proporsional kepada kaum buruh, dan pada saat kapan pula keadilan itu harus berpihak kepada penguna jasa. Selain itu juga satu kaedah fikih yang sangat popular adalah “La Dharara wa La Dhirar”, sehingga segala bentuk muamalah pada hakekatnya tidak boleh mengandung unsur yang berbahaya ataupun menimbulkan bahaya kepada orang lain baik bagi para buruh maupun pihak yang mempekerjakannya, karena kedua-duanya dalam pandangan agama memiliki hak dan kewajiban yang setara.
Acara bahtsul masail yang digelar PCI-NU Pakistan tersebut bertempat di kediaman Bapak Qomaruzzaman Basuni (staf KBRI Islamabad) yang juga mustasyar NU Pakistan.
Acara juga dihadiri oleh Fatayat PCI-NU Pakistan, Muhammadiyah Cab Pakistan, PERSIS, Staf KBRI Islamabad dan mahasiswa Indonesia di Islamabad. Acara diakhiri dengan photo bersama dan ramah tamah.*/ Muladi Mughni (Pakistan)