Hidayatullah.com– Peneliti senior Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr. Syamsuddin Arif, mengatakan masih banyak di kalangan muslim masih tabu bahkan anti filsafat. Yang ujangnya memberi cap sesat pada kegiatan berfilsafat.
Bertempat di Gedung INSISTS dibilangan Kalibata, Jakarta Selatan, hari Rabu (30/01/2019) lalu, peraih dua gelar doktor –dari IIUM dan Orientalisch Seminari Frankfurt Germany itu—itu membedah masalah filsafat. Tidak hanya filsafat secara umum, dalam kelas yang diadakan rutin itu juga dibahasa bab Filasat Islam.
“Tidak usah aneh atau kikuk kalau mau membicarakan filsafat Islam. umat Muslim terbesar itu ada di Indonesia, kenapa malah kebanyakan Muslimnya anti-filsafat?” ujarnya dalam kelas Sekolah Pemikiran Islam (SPI) angkatan 9 ini.
Puluhan peserta yang menghadiri acara ini antusias memasuki salah satu pembahasan yang tak jarang dipandang ‘tabu’ bagi kalangan Muslim.
Ia menegaskan pula bahwa filsafat itu bukan hanya monopoli orang Yunani. Dalam argumennya, jika filsafat itu diartikan sebagai kegiatan berfikir, maka tidak hanya orang Yunani saja yang berfilsafat, tapi semua orang pun bisa.
Menurut para filsuf Muslim, lanjut Syamsuddin, berfilsafat, yang dalam Bahasa Arab disebut sebagai hikmah, falsafah, atau ‘ulum al-awa’il, bukan hanya wacana kosong, tetapi bertujuan untuk mengatakan dan sungguh-sungguh mengerjakan yang benar sesuai dengan pengetahuannya itu.
Pria yang akrab dipanggil Ustadz Syam itu mencontohkan seorang filsuf Muslim yang dikenal luas yakni Ibnu Sina.
“Semua orang di Timur maupun di Barat tidak ada yang bilang kalau Ibnu Sina ini tidak rasional. Semua mengakui kalau beliau sangat logis dan filosofis. Tapi, beliau ini tidak kafir, tidak atheis, dan seorang Muslim,” tegasnya.
Syamsuddin menuturkan, Ibnu Sina memandang filsafat itu salah satu proses mencapai kesempurnaan jiwa manusiawi. Tujuan dari penyempurnaan jiwa ini tidak lain untuk menjadi manusia yang benar dan manusia yang baik. Ia menambahkan pendapat dari Al-Kindi bahwa tidak perlu malu menerima kebenaran dan menyimpan kebenaran walaupun datangnya dari negeri yang jauh dan berbeda budaya maupun agamanya.
“Meskipun begitu, ada beberapa orang muslim yang menganggap bahwa mepelajari filsafat itu mubah mutlaq, haram mutlaq, atau bi–syart yaitu boleh atau haram dengan syarat,” kata Syamsuddin.
Baca: Kebanyakan Silabus Filsafat Islam di Kampus Mengikuti Framework Orientalis
Ia menerangkan, Ibn Shalah dan As-Suyuti adalah di antara ulama yang menyatakan filsafat adalah haram mutlaq. Hal ini karena dikhawatirkan mempelajari filsafat akan membuat seseorang keluar dari bahasa agama dan jika dipakai untuk memahami teks agama akan membuat orang jadi bodoh, sesat dan menimbulkan bid’ah.
Sedangkan Imam Al-Ghazali termasuk ulama yang menyatakan bahwa filsafat itu haram namun dengan pengecualian. Syamsuddin menerangkan pendapat Imam al-Ghazali bahwa belajar filsafat dilarang karena banyak dampak buruknya, kecuali bagi dua jenis orang, yakni mereka yang mempunyai masalah dan mereka yang kuat akalnya, mantap agamanya, dan teguh imannya.
“Jadi dua orang tadi itu ibarat orang sakit yang memerlukan obat, sedang satunya lagi, ibarat dokter yang ingin mengobati orang sakit,” imbuh Syamsuddin.*/ priyankakw/ajeng