Hidayatullah.com–Cuaca kota Madinah yang cerah semakin hangat dengan hadirnya delegasi dari Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia (PPMI) Timur Tengah dan Afrika serta delegasi dari berbagai kampus yang berasal dari Indonesia.
Para mahasiswa berkumpul di Ballroom Movenpick Hotel di Madinah, 3-4 April 2017 guna mengikuti Simposium Internasional PPI Timur Tengah dan Afrika 2017.
Simposium internasional bertema Revitalisasi Simpul Kebangsaan di Tengah Kemajemukan ini diresmikan dengan pemukulan gong oleh Agus Maftuh Abegebriel, Duta Besar Indonesia untuk Saudi.
Simposium ini begitu menarik karena menghadirkan ulama Saudi dan puluhan sejumlah tokoh penting di Indonesia.
Baca: PPMI Arab Saudi Desak Presiden dan Kapolri Tindak Tegas Kasus Ahok
Diantaranya; Prof. Dr. Ali Mayouf Al Mayouf (Dekan Fakultas Sastra King Saud), sedang dari Indonesia, yaitu Prof. Dr. Moh. Mahfudz M.D., S.H, Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, Mochamad Ridwan Kamil, S.T. M.U.D, Prof, Dr. Masykuri, M.A, Mohammad Herry Saripudi, M.A, Prof. Dr.der Soz.Gumilar Soemantri, dan Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA.
Kegiatan berlangsung dibagi menjadi 3 kali Diskusi Panel. Diskusi panel pertama dengan topik ‘Merajut Tenun Kebangsaan di tengah Kemajemukan diisi tiga panelis yaitu Prof. Dr. Moh. Mahfudz M.D., S.H, Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, Mochamad Ridwan Kamil, S.T. M.U.D.
Salah seorang panelis pada diskusi panel pertama Prof. Dr. Moh. Mahfudz M.D menyatakan seringkali terdapat pertanyaan bagaimana Indonesia mengelola politik dan pemerintahan di dalam pluralitas bangsa yang masif.
“Jawabannya cukup sederhana. Pertama, keberhasilan Indonesia mengelolah itu semuanya melalui sistem demokrasi dikarenakan kebersatuan bangsa Indonesia dalam keberagaman itu terbangun dari bawah selama ratusan tahun dan bukan merupakan pemaksa dari atas sehingga kebersatuan itu lebih tumbuh dan berkembang secara alamiah,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2011 ini.
Kedua, kata Mahfud, pada saat perjuangan melepaskan diri dari penjajahan dan membentuk negara merdeka dengan nama Indonesia, maka seluruh elemen bangsa bersepakat untuk mengikat kebersatuan dalam perbedaan itu melalui dasar ideologi Pancasila.
Sementara mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr. Din Syamsuddin masalah hubungan antar agama di Indonesia solusinya harus duduk bersama-sama.
“Saya optimis permasalahan yang ada bisa diatasi. Kita harus menjadi pioner dakwah. Termasuk para mahasiswa ataupun pemuda, ia harus memberi hujah (alasan) yang benar untuk merubah pandangan (yang keliru), “ ujarnya.
Pada diskusi panel kedua terdapat topik berupa Wawasan Politik Hukum Indonesia dan Kerangka Diplomasi dengan Negara-Negara Timur Tengah, dua panelis yaitu Prof. Dr Masykuri, M.A dan Mohammad Herry Saripudi, M.A. membahas era digital.
Mohammad Herry Saripudi, yang juga Konsul Jendral Republik Indonesia di Jeddah mengatakan pada era digital semua orang bisa menjadi ‘diplomat’, tidak hanya menjadi konsumen informasi, namun produsen informasi.
“Ketika di era ini terdapat dua pilihan, kita bisa membuat informasi yang menjerumus kepada fitnah ataupun informasi yang menyebarkan keberkahan,” ujarnya.
Diskusi panel ketiga dengan topik Menyongsong Masa Depan Indonesia dalam Mempersiapkan Generasi Emas 100 Tahun dengan panelis Prof. Dr. der Soz Gumilar Soemantri dan Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh, DEA akan disampaikan esok harinya pada hari Selasa, 04 April 2017.*/kiriman Qonitah Ainurrahmah (Madinah)