Hidayatullah.com– Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal itu disampaikan Ketua Umum DPP Hidayatullah, Nashirul Haq, dalam kesempatan memberikan pandangannya tentang pendidikan nasional pada Rapat Pleno ke-19 Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) di Aula Buya Hamka, kantor MUI, Jakarta, Rabu (23/08/2017).
Menurutnya, secara normatif apa yang dicanangkan pemerintah mengenai tujuan pendidikan nasional tersebut sangat ideal. Tetapi ironi dalam implementasi. Sebab kebijakan dan komitmen pemerintah masih tampak kurang (terlihat) nyata untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Contoh yang paling nyata adalah porsi pendidikan agama di sekolah, baik itu sekolah umum atau sekolah negeri. Porsi itu menurutnya sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh peserta didik kita saat ini.
Pada kesempatan itu juga, dai muda kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan, ini memaparkan tentang “Pendidikan Integral Berbasis Tauhid”, yang disebut sebagai ide besar ormas Hidayatullah dalam upaya berbagi solusi pendidikan Islam.
“Artinya bagaimana mengelola pendidikan kita ini (agar) benar-benar mengantarkan anak didik menjadi orang yang bertauhid. Bahwa orang yang terdidik itu adalah mereka yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Dan itulah hakikat daripada ilmu itu sendiri,” terang Nashirul.
Baca: Pendidikan Nasional haruslah bermuatan Agama dan Kebangsaan
Berdasarkan tujuan pemerintah demikian, alumni Universitas Islam Madinah ini mencoba membagi 3 hal yang harus menjadi skala prioritas pendidikan nasional di Indonesia. Pertama, mengingatkan pemerintah agar memberikan perhatian dan motivasi yang serius dalam dunia pendidikan, terutama paradigma berpikirnya.
“Jangan sampai yang menjadi target dan kebanggaan pendidikan nasional kita hanya pada aspek kognitifnya (intelektualnya) saja, sementara moralitas dan spiritualnya hanya menjadi faktor pelengkap saja,” sarannya.
Ia mengacu pada salah satu prinsip pendidikan dalam istilah arab, tazkiyah qabla ta’lim (proses pensucian jiwa sebelum pengajaran) atau az-zaka qabla adzaka (kesucian sebelum kecerdasan) yang mengacu pada firman Allah dalam Surat Al-Jumuah ayat 2.
Sederhananya, menurut Nashirul, jiwa harus disucikan terlebih dahulu, maka kecerdasan akan menyusul.
“Dan inilah sistem pendidikan yang diterapkan oleh salafus shaleh. Sehingga mereka benar-benar lahir sebagai orang-orang yang bisa memberi manfaat kepada umat sebagai orang yang shaleh sekaligus muslih. Mereka inilah orang yang ditunggu oleh zaman,” papar Nashirul.
Yang kedua, orientasi pendidikan sengaja didesain sedemikian rupa untuk melahirkan peserta didik yang dzul aidi wal abshar. Dia terampil, tetapi pada saat yang sama dia juga memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.
Ini yang menurutnya terkesan pincang saat ini. Pemerintah ingin melahirkan peserta didik yang menonjol dalam keterampilan dengan orientasi melahirkan (banyak) tenaga kerja. Tetapi peserta didik tidak memiliki paradigma dan visi yang besar. Atau sebaliknya memiliki prestasi akademik yang tinggi namun tidak memiliki life skill.
Ketiga, pendidikan diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang memiliki dua kriteria utama sebagaimana diisyaratkan dalam al Quran, yaitu al-quwwah dan al-amanah. Al-quwwah artinya memiliki kemampuan, kapabilitas, dan kompetensi. Sedangkan al-amanah artinya punya integritas, moralitas, dan berkarakter. Dua hal ini tentu saja tidak bisa dipisahkan.
“Dan keselamatan bangsa bahkan dunia secara umum, tergantung sejauh mana kita bisa melahirkan generasi sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur’an itu,” tutupnya.
Pada rapat rutin bulanan bertema “Dialog Kebijakan Pendidikan Nasional dan Kepentingan Umat Islam” itu, Wantim MUI mengundang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Sekjen Kementerian Ristek dan Dikti Ainun Naim sebagai pembicara.
Peserta rapat terdiri dari para ketua umum ormas Islam tingkat pusat dan beberapa individu tokoh Islam. Secara struktural, para peserta ini merupakan anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat.* Kiriman Rizky Kurnia Syah, pegiat komunitas menulis PENA