Menteri dalam negeri Arab Saudi menegaskan bahwa ancaman serangan terorisme di sejumlah kota di Arab Saudi termasuk Jeddah, hanyalah isu kosong.
Hal itu diungkapkan Pangeran Naif bin Abdul Aziz kepada para wartawan menanggapi tersiarnya berita akan kemungkinan terjadinya ledakan baru di Jeddah.
Amir Naif tak lupa memrotes keras pernyataan sejumlah pejabat tinggi AS mengenai perencanaan bom Riyadh, seraya mengatakan bahwa AS sama sekali tidak pernah memberikan informasi berkenaan dengan hal ini kepada kami.
Seperti diketahui, tanggal 12 Mei lalu, kota Riyadh diguncang serangkaian bom dahsyat yang menewaskan 34 orang dan melukai 192 lainnya.
Dan seperti biasa AS memancing di air keruh, kali ini dengan membombardir Arab Saudi dengan propaganda-propaganda miringnya.
Media massa AS dalam laporannya mengesankan ketidakmampuan Arab Saudi untuk mencegah dan menangani kasus ini dan mencari para pelakunya.
Bersikerasnya AS untuk mengirimkan tim FBI ke Arab Saudi semakin mempertajam perselisihan kedua negara. Riyadh yakin bahwa lembaga intelijennya bisa mengontrol keadaan tanpa memerlukan bantuan pihak asing. Penolakan Arab Saudi ini memang beralasan.
Arab Saudi khawatir jika diijinkan terlibat dalam pengusutan kasus peledakan ini, AS akan membuat ulah dengan menyusun data-data yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
AS saat ini tengah mencari-cari kesempatan untuk mengaitkan peristiwa Riyadh dengan negara-negara lain di kawasan. Jika itu terjadi, hubungan Arab Saudi dengan negara bersangkutan mau tak mau akan terkena imbasnya. Hal inilah yang dikhawatirkan Arab Saudi, yang lantas menyebut peristiwa Riyadh sebagai masalah internal.
Sikap AS yang ingin terlibat langsung di Arab Saudi dengan alasan demi menjaga warganya, dinilai sebagai sebuah intervensi.
Tahun 1996, ketika terjadinya ledakan dahsyat di kamp militer AS di Arab Saudi, yang menewaskan banyak serdadu AS, Riyadh juga tidak memberi ijin kepada para pejabat FBI untuk campurtangan. Penolakan itu sempat membuat tegang hubungan kedua negara. Kali inipun Arab Saudi juga tidak mempedulikan tekanan AS dan tetap menolak untuk memberi jalan masuknya FBI ke negara itu.
Para pengamat menilai bahwa ledakan di Riyadh telah meningkatkan ketegangan dalam hubungan Arab Saudi–AS. Dan nampaknya, kondisi ini akan meningkat menjadi perang propaganda anti Arab Saudi di AS. (Radio IRIB/masdum)