Hidayatullah.com–Raissi memang tidak berada di New York saat menara kembar WTC diledakkan oleh bom bunuh diri pada 11 September 2001. Namun, kejadian tersebut telah menghancurkan kehidupan dan cita-citanya setelah FBI melakukan kesalahan investigasi dengan menudingnya sebagai pelatih para pembajak yang meledakkan WTC saat itu.
“Sebelumnya, saya berharap bisa menghidupi diri saya di AS (dengan menjadi pilot). Namun, AS bersama polisi dan penuntut Inggris telah menghancurkan kehidupan saya. Dan, mereka tidak pernah meminta maaf,” katanya seperti yang dikutip The Times.
Pengacara Raissi, Jules Carey, mengungkapkan bahwa keluarganya telah menghabiskan banyak uang untuk mendukung pendidikannya sebagai pilot. Namun, setelah kejadian tersebut, dia tidak bisa bekerja lagi dalam profesi yang dipilihnya. “Saat kecil, saya terus bermimpi menjadi pilot. Yang ingin saya lakukan adalah menerbangkan pesawat. Ironisnya, impian saya berubah menjadi mimpi buruk dalam kehidupan,” tegasnya.
Dengan dasar itu, Raissi mengajukan klaim USD 10 juta (sekitar Rp 85 miliar) kepada Departemen Kehakiman AS dan FBI. Pengacara Raissi di Los Angeles, Paul Hoffman, menegaskan bahwa kliennya akan mengajukan tuntutan jika klaim tersebut diabaikan. Sampai kemarin, belum ada jawaban dari kedua lembaga itu atas klaim yang diajukan pada Jumat lalu.
Carey menambahkan, Raissi mengajukan klaim atas kesalahan penangkapan, kesalahan penahanan, prosekuis yang kejam, proses yang sewenang-wenang, dan tekanan emosi yang membahayakan. Dan, semua itu dia alami hanya karena kebetulan dirinya adalah seorang muslim. “Itu merupakan reaksi spontan biasa AS. Mereka menemukan seorang muslim Aljazair yang menjadi instruktur penerbangan dan melihatnya sebagai alasan yang kuat untuk mengaitkannya dengan insiden tersebut,” ungkap pengacara itu seperti yang dikutip The Times.
Lelaki yang kini berusia 29 tahun tersebut ditangkap di rumahnya di dekat Bandara Heathrow, London, 21 September 2001. Dia dituduh menjadi instruktur pembajak yang menjadi pilot pesawat komersial yang kemudian ditabrakkan ke WTC dan Pentagon.
Menurut versi FBI, dia bersama Hani Hanjour melatih para pembajak itu di sekolah penerbangan di Arizona. Tudingan tersebut didasarkan pada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa dia sempat terlihat bersama Ziad Jarrah yang diidentifikasi sebagai salah seorang pembajak United Airlines Flight 93 yang ditabrakkan di Pennsylvania.
Kasus tersebut ditolak pengadilan Inggris karena tidak ditemukan bukti soal tudingan terorisme yang diarahkan kepadanya. AS sempat meminta Inggris mengektradisinya untuk kepentingan penyidikan. Namun, tanpa alasan jelas, permohonan itu dibatalkan.
Dalam sebuah wawancara saat sidang di Inggris, Raissi mengungkapkan bahwa kejadian yang dialaminya disebabkan kesalahan AS dan Inggris dalam memandang dirinya sebagai muslim. “Saya seorang pilot. Saya bangga menjadi muslim. Tapi, itu bukan berarti kejahatan, kan?” katanya.
Dia lantas menegaskan bahwa keluarganya di Aljazair sangat membenci terorisme. “Sebab, sepuluh tahun terakhir, keluarga saya menjadi korban terorisme,” ujarnya.
Kepada wartawan, waktu itu Raissi menggunakan ungkapan-ungkapan keras. “Jika seorang pejahat (yang kebetulan muslim) membajak pesawat, bukan berarti semua muslim harus menghadapi tuduhan yang sama,” tegasnya.
Menurut dia, dirinya telah menjadi korban hanya karena kebetulan berkebangsaan Aljazair dan beragama Islam. “Saya menjadi korban kekejian peristiwa 11 September,” ujarnya. (afp/jp)