Hidayatullah.com– Tim gabungan yang terdiri dari Deplu, Polri, dan BIN dalam membebaskan enam mahasiswa WNI yang ditahan di Pakistan, tampaknya kandas. Sampai tadi malam, pihak keamanan Pakistan belum memberikan isyarat apa pun untuk melepaskan Gungun Rusman Gunawan dkk yang dituding dan dikait-kaitkan dengan Hambali.
Tim yang terdiri atas empat orang itu sudah melakukan pertemuan serius dengan tiga instansi yang berwenang dalam penangkapan dan penahanan enam mahasiswa Abu Bakar Islamic University tersebut. Tiga instansi yang telah ditembus itu adalah kementerian dalam negeri, FIA (Federal Intelligence Agency), dan kementerian luar negeri negara tersebut.
Seperti dikutip Jawa Pos, sepanjang hari kemarin, tim bentukan Deplu itu melakukan pertemuan maraton dengan ketiga instansi tersebut.
Seluruh pertemuan itu berlangsung di Islamabad. Tim tiba di ibu kota Pakistan itu sekitar pukul 09.00 waktu setempat atau pukul 11.00 WIB. Mereka datang dari Karachi setelah sehari sebelumnya menemui Gungun cs di tahanan dinas intelijen.
Begitu tiba di Islamabad, tim Deplu langsung menemui para pejabat di tiga instansi tersebut dan melakukan pertemuan secara tertutup. Pertemuan dengan setiap instansi tak lama. Bahkan, tergolong cepat. Masing-masing hanya setengah jam.
Dalam pertemuan itu, tim didampingi tiga pejabat dari KBRI Islamabad. Mereka adalah Kabiro Konsuler KBRI di Pakistan Hadi Martono, mantan Kabiro Konsuler KBRI Dindin Wahyudin, dan Kuasa Usaha KBRI Aang Wirtajaya.
Menurut Radio Asutralia, keempat pengusut yang mewakili Polri, Deplu dan badan intelijens Indonesia itu bertemu dengan keenam santri Indonesia tersebut di suatu lokasi rahasia di Karachi.
Enam santri Indonesia itu diciduk bersama dengan 13 santri Malaysia dari perguruan tinggi Islam dan sejumlah madrasah di Karachi dalam operasi bulan lalu.
Tak jelas, mengapa tiba-tiba intelijen Pakistan mengkait-kaitkan mereka dengan suatu Jamaah Islamiyah, kelompok belum jelas yang selalu dinisbatkan sebagai pelaku teror ini.
Tim pengusut itu berharap kelompok orang-orang yang ditahan itu akan bisa membantu menguak seberapa besar kehadiran Jemaah Islamiyah di Pakistan dan apakah mereka berencana melancarkan serangan di negara itu.
Para anggota tim, tampaknya pesimistis bisa mendeportasi enam mahasiswa itu. Menurut staf KBRI, seperti dikutip Jawa Pos, mereka telah dijerat dengan UU Antiterorisme Pakistan yang amat ketat.
“Peluang kita memang sulit. Tapi, kita akan terus berusaha,” ujar salah seorang staf KBRI yang enggan disebut namanya.
UU Antiterorisme yang dimiliki Pakistan jauh lebih kejam seperti UU Antiterorisme yang berlaku di Indonesia. Salah satu pasal dalam UU itu menyatakan bahwa seseorang bisa ditangkap hanya karena memiliki hubungan famili dengan orang yang diduga terlibat teror. Contohnya, orang tua atau saudara kandung -baik kakak maupun adik- dari seorang pelaku aksi terorisme bisa langsung diciduk intelijen di sana.
Pengamat hukum yang juga mantan Jubir BIN Muchyar Yara SH mengatakan, pemerintah Indonesia harus mengikuti aturan hukum yang berlaku di Pakistan. Menurut dia, melindungi WNI yang ada di luar negeri adalah tanggung jawab negara. Namun, jika seorang WNI terjerat masalah hukum di negara lain, pemerintah Indonesia harus menghormati hukum yang berlaku di negara tersebut.
“Pertama, memang negara kan harus melindungi warga negaraya. Tapi, kita juga kan mengakui Pakistan sebagai negara yang berdaulat. Dalam arti, juga mengakui hukum negara Pakistan,” ungkap Muchyar kepada koran ini kemarin. (jp/abcn/cha)