Hidayatullah.com–Sebuah laporan terbaru yang ditunjukkan untuk Konggres Amerika Serikat (AS) yang dikeluarkan di Washington 1 Oktober 2003 kemarin mengatakan AS harus secara drastis memeriksa secara seksama usaha diplomasi publik nya yang bersumber dari perasaan sikap anti-Amerika yang secara bergelombang terjadi di dunia Islam dan Arab.
Sebuah laporan draf yang dibuat oleh 13 tenaga ahli mandiri berjumlah 81 halaman melaporan memeriksa secara seksama menyangkut cara Washington berkomunikasi dan kebijakan AS kepada orang Islam dan dunia Arab.
Laporan berjudul Bergelar “Changing Minds, Winning Peace,” (Berubah pikiran, Memenangkan Damai) dipimpin oleh Edward Djerijian, mantan duta besar AS di Suriah dan Israel yang kini aktif di Rice University di Texas.
Djerijian yang dikutip Radio Free Europe memberitahukan di Departemen Luar Negeri AS bahwa,”jika Amerika tidak menggambarkan dirinya sendiri kepada dunia Islam,” maka, “ekstrimis akan melakukannya untuk kita.”
“Laporan ini adalah suatu panggilan. Aku berpikir ini merupakan suatu panggilan untuk memanggail dan meminta Amerika Serikat menghadapi secara efektif tantangan menyangkut pertempuran untuk mengurus pikiran yang kita miliki di luar sana,” ujar Djerijian.
Laporan itu didasarkan pada studi yang mengutip tempat poling terbaru –di mana munculnya semangat dan perasaan anti-AS oleh orang Islam dan dunia Arab– diantaranya dipicu oleh sikap AS dalam serangan ke Iraq dan konflik Arab-Israel telah semakin mencapai meningkat.
Sebagai contoh, 1 persen rakyat di Yordania memandang Amerika Serikat dengan baik di tahun 2003, dibandingkan dengan 25 persen di musim panas 2002. Di Mesir — penerima bantuan AS terbesar — hanya 6 persen rakyat yang mempunyai suatu kesan baik menyangkut Amerika Serikat (AS) di tahun 2002.
Laporan meminta perubahan secara struktural dalam manajemen diplomasi publik AS, mencakup koordinator untuk hubungan masyarakat di luar negeri. Ia juga menghimbau adanya pelatihan bahasa dan pembelanjaan uang bagi diplomat atas program seperti ilmu pengetahuan, buku penterjemahan, dan penyiaran AS.
Djerijian mengatakan semua program diplomasi publik, terutama penyiaran, akan perlu ditingkatkan guna membuktikan mereka secara positif mempengaruhi gambaran AS di luar negeri.
Sebagai suatu contoh, ia mengatakan sebuah program terbaru yang disebut “Amerikanisasi Islam” atas Satelit Arab, saluran TV Al-Arabiyah tidak mampu bersuara untuk menghadirkan sisi AS dalam debat pada pertunjukan selama dua jam.
“Selama diskusi utuh itu, tidak ada seseorang yang bisa menghadirkan isi dan konteks Amerika tentang nilai-nilai AS, sebagai contoh, kebebasan untuk beragama, kebijakan AS. Dan itu hanya baru satu contoh,” tambah Djerijian.
Laporan juga ikut menyalahkan penurunan pengucuran dana sejak Perang dingin dalam pembiayaan untuk program yang mendukung AS. Diantaranya program menjelaskan nilai Amerika dan usaha untuk menjelaskan kebijakan AS.
Menurut Djerijian, program seperti itu, –penyiaran internasional AS, ilmu pengetahuan, persahabatan, beasiswa untuk orang asing untuk belajar di Amerika Serikat dan informasi program tentang Amerika pada kedutaan besar AS adalah prioritas utama sepanjang Perang dingin.
Tetapi sejak tahun 1980, di bawah Presiden terdahulu Ronald Reagan, Djerijian mengatakan AS pembiayaan telah jatuh ke dalam terminologi riil seperti (itu) dengan lebih dari 50 persen, sekalipun Amerika sekarang menghadapi apa yang ia disebut suatu hal penting pertempuran dalam peperangan atas terorisme untuk memenangkan hati dan pikiran orang Islam.
Ia mencatat bahwa total pembiayaan untuk diplomasi publik hanya baru $ 1 milyar (Am.) selama setahun.
Menurut Djerijian, Washington membelanjakan berpuluh-puluh juta dolar sejak serangan September 2001 dalam suatu penawaran untuk meningkatkan gambaran di Timur Tengah, melalui siaran radio, surat kabar, dan iklan televisi yang ditujukan terhadap orang Islam di AS.
Untuk menggalang opini dan nilai Amerika, kelompok ini juga meminta pihak Washinton untuk memberi kesempatan strategis lewat ilmu pengetahuan dan program pertukaran bidang pendidikan untuk orang-orang Islam di universitas Amerika.
Tahun lalu, melaui duta besarnya di Jakarta, AS menempatkan beberapa spot iklan di beberapa stasiun televisi dan radio. Isinya, tak lain memberikan gambaran, seolah-olah AS sangat menghormati kebebasan beragama termasuk Islam.
Selain kampanye melalui media, belakangan, beberapa lembaga dana dari AS memindahkan bantuan dari LSM-LSM pembela HAM dan demokrasi ke beberapa LSM yang berkedok ‘Islam Moderat’ sebagai kampanye melawan apa yang dituduhkan AS sebagai ‘Islam garis keras’.
Meski hingga kini citra AS tetap buruk dan dianggap sebagai penjahat perang, toh kampanye tidak akan berhenti sampai di situ. (yrgc/tstc/cha)