Rabu, 16 November 2005
Hidayatullah.com–Dua bekas tahanan Iraq menyatakan mereka telah disiksa dengan cara dipukuli, dibangunkan saat sedang tidur dan jatah makanan mereka dikurangi, disetrum, ditembak dengan peluru karet dan ditakut-takuti dengan hukuman mati bohong-bohongan selama mereka berada dalam cengkeraman tentara AS, demikian laporan satu stasiun televisi AS, Senin.
Selain itu, gaya penyiksaan biadab lain tentara AS terhadap para tahanan Irak kembali terungkap. Berdasarkan pengakuan para mantan tahanan Iraq, siksaan sadis lain yang dipakai oleh tentara AS adalah memasukkan para tahanan ke dalam kandang singa, demikian seperti kutip AFP.
Kedua orang Iraq itu, Thahee Sabbar dan Sherzad Khalid, mengatakan kepada stasiun televisi ABC bahwa mereka ditahan Juli 2003, berulangkali mengalami penyiksaan dan dibebaskan beberapa bulan kemudian tanpa dakwaan apa pun.
Laporan tersebut tak menyebutkan di mana kedua orang itu diciduk. Mereka, kata stasiun televisi ABC, berulangkali ditahan di penjara ABu Ghraib atau istana Garda Republik Saddam Hussein —yang diubah menjadi satu instalasi militer AS setelah Saddam terguling.
“Saya sangat terkejut ketika mereka menangkap saya,” kata Khalid sebagaimana dikutip. “Mereka tak memberi alasan mengapa mereka membawa saya. Dan saya bertanya kepada mereka, tapi mereka tak menjawab. Satu-satunya jawaban ialah pukulan keras.”
Tentara AS secara rutin menanyai tahanan untuk mengorek informasi mengenai mantan presiden Iraq Saddam Hussein dan menghukum mereka ketika jawaban mereka ternyata mengecewakan, kata stasiun televisi tersebut.
“Saya berkata kepada dia, ‘Bagaimana saya tahu di mana Saddam berada?’ dan saya menduga bahwa ia sedang mengolok-olok saya. Dan itu sebabnya mengapa saya tertawa. Dan ia memukul saya lagi,” kata Khalid —yang berbicara melalui seorang penerjemah.
Khalid menuduh tentara AS membawa dia ke satu kandang yang berisi singa hidup dan mengancam akan melempar dia serta tahanan lain ke kandang singa itu, jika mereka tak mau mengaku.
Pada satu keadaan, Sabbad menuduh ia dan tahanan lain menjadi sasaran hukuman mati bohong-bohongan.
“Mereka mengarahkan senjata mereka ke kami,” kata Sabbar. “Dan mereka menembak, menembak ke arah dada dan kepala kami. Dan ketika suara tembakan terdengar, sebagian dari kami jatuh pingsan. Sebagian mulai menangis. Sebagian bahkan sampai terkencing-kencing. Dan mereka tertawa sepanjang waktu.”
Laporan itu merupakan tuduhan paling akhir mengenai penyiksaan dan pelecehan terhadap pemerintah AS, menyusul skandal pelecehan tahanan di penjara Abu Ghraib, Iraq, kecaman di dalam serta luar negeri terhadap kebijakan Gedung Putih memperlakukan tahanan.
Presiden AS George W. Bush telah berkeras bahwa Amerika Serikat tak melakukan penyiksaan, tapi pemerintahnya telah melakukan lobi untuk menentang satu usul dari Senator John McCain yang secara tegas akan melarang penyiksaan dan tindakan kejam, perlakuan tak manusiawi terhadap tahanan.
Kelompok “American Civil Liberties Union” dan “Human Rights First” telah mengajukan tuntutan hukum atas nama delapan mantan tahanan, termasuk Sabbar dan Khalid, pada Maret 2005. Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dinyatakan bertanggung jawab atas perlakuan kasar yang mereka terima dan mereka katakan melanggar hukum AS serta hukum internasional.
Pemerintah AS telah mengkonfirmasi bahwa kedua pria tersebut memang pernah ditahan tapi tak mengomentari secara langsung tuduhan mereka, kata stasiun televisi ABC.
Khalid menuduh tentara AS yang melakukan penjagaan mengancam akan menyodomi dia dengan tongkat kayu dan mereka mematahkan giginya ketika mereka pertama kali menahan dia.
Menurut Sabbar, tentara AS membuat tulang pundaknya terlepas, menggunakan senjata Taser untuk menyetrum tahanan, menembakkan peluru karet dan tak memperlihatkan rasa hormat kepada Al-Qur’an dengan menginjak-injak atau melemparkannya.
Khalid dibebaskan September 2003 dan Sabbar pada Januari 2004, demikian laporan stasiun televisi ABC. (ant/afp/cha)