Hidayatullah.com—Pernyataan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan yang mengatakan bahwa pemerintahnya ingin membesarkan generasi muda relijius, mendapat kecaman dari kelompok sekuler.
“Kami ingin membesarkan pemuda relijius,” kata Erdogan dalam pidatonya di parlemen, kutip AFP (09/02/2012). Erdogan memiliki latar belakang sekolah agama dan memimpin partai Islam, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP)
“Apakah Anda berharap demokrat konservatif AKP membesarkan generasi atheis? Mungkin itu urusan Anda, misi Anda, tapi bukan misi kami. Kami akan membesarkan generasi konservatif dan demokratis yang memegang prinsip dan nilai-nilai bangsa,” imbuhnya.
Pernyataan itu mendapat kritikan pedas seorang tokoh dari Partai Rakyat Republik (CHP) bentukan bapak Turki sekuler, Mustafa Kemal Ataturk
“Dosa mengumpulkan suara pemilih dengan agama. Anda bukan relijius, melainkan seorang penjual agama,” kata Kemal Kilicdaroglu
“Saya Tanya perdana menteri, apa yang bisa saya lakukan jika saya tidak ingin anak-anak saya dibesarkan sebagai seorang relijius dan konservatif?” tulis seorang tokoh liberal terkemuka di Turki, Hasan Cemal, di harian Miliyet.
“Jika Anda akan melatih generasi rrelijius dan konservatif di sekolah-sekolah, maka apa yanga akan terjadi dengan anak saya?” tanya Cemal.
Dalam tulisannya di Huriyet Daily News, kolumnis Mehmet Ali Birand menyindir Erdogan ingin mendirikan negara agama. Menurut Birand, jika Turki berubah menjadi relijius maka acara-acara televisi akan disensor sehingga tidak menampilkan adegan ciuman dan pornografi.
Sementara Semih Idiz berdalih, jutaan orang sudah menjalani gaya hidup sekuler sebelum republik Turki berdiri.
Pernyataan Erdogan dinilai pengkritiknya bertentangan dengan pernyataan sebelumnya pada bulan September, terkait revolusi di beberapa negara Arab. Ketika itu Erdogan mengatakan kepada sebuah stasiun TV Mesir, “Sebagai Recep Tayyip Erdogan saya seorang Muslim bukan sekuler. Tetapi saya seorang perdana menteri dari sebuah negara sekuler. Orang memiliki kebebasan untuk memilih apakah ia ingin menjadi relijius atau tidak di dalam rezim sekuler.”*