Hidayatullah.com—Pemerintah negeri bagian Kuala Terengganu mengaku akan bertindak atas imam di negeri itu bila ditemukan mengadakan ceramah atau ceramah berunsur politik di dalam masjid.
Komisioner Urusan Agama Maidam Datuk Mohd Rozali Ishak, dikutip Kantor BERNAMA, Malaysia, Jumat (15/03/2013) mengatakan perbuatan itu bertentangan dengan tugas hakiki mereka yaitu imam shalat dan membacakan khutbah saat shalat Jumat saja.
“Kita ada terima laporan dari beberapa daerah yang mengatakan imam-imam ini mengadakan ceramah politik dalam masjid. Ini satu kesalahan karena tugas utama adalah imam shalat dan membaca khutbah, bukan mengambil peluang berpolitik, “katanya kepada wartawan.
Menurutnya, dalam periode dua tahun lalu, belum ada imam di negeri itu yang diberi sanksi akibat dianggap terlibat politik secara terang-terangan.
“Namun untuk tahun ini, jika imam-imam tersedia masih melanjutkan kesalahan mereka, kita akan siasat dan membuat laporan kepada komite tatatertib,” ujarnya.
“Jika kesalahan yang ditemukan agak serius, komite tatatertib bisa mengambil tindakan yang lebih serius sehingga kita bisa memecat imam tersebut, ” tambahnya.
Menurutnya tindakan tatatertib itu mencakup imam pegawai negeri yang dibayar oleh pemerintah dan juga imam mukim yang hanya menerima tunjangan dari pemerintah.
Menurutnya, seorang imam tidak boleh menyalah gunakan kekuasaan dengan menjadikan masjid ‘pentas politik’ sehingga memecah belah persatuan bangsa.
Seperti diketahui, di Malaysia tidak semua orang boleh menjadi imam masjid. Imam masjid diwajibkan memiliki izin khusus yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jika lolos barulah dia bisa menjadi imam. Meski demikian, imam masjid tak bisa sembarangan ceramah, apalagi masalah politik.
Selain itu, di Malaysia, imam masjid berstatus sebagai pegawai negeri yang gajinya dibayar pemerintah. Sehingga isi khutbahnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan pemerintah atau raja.
Ini sangat berbeda dengan di Indonesia, di mana hampir semua masjid adalah mandiri dalam pendanaan. Selain itu, sikap seperti ini pernah dilakukan era Soeharto antara tahun 80-90-an sudah tidak laku lagi diterapkan. Dalam hal ini, sikap pemerintah Malaysia termasuk primitive.*