Hidayatullah.com—Sejak Rusia ikut ambil bagian dalam serangan udara di Suriah, jumlah orang Iran yang menjadi korban ikut bertambah.
Media-media Iran menggunakan istilah tidak resmi “Para pembela makam suci” untuk menyebut orang-orang Iran dan Afghanistan, yang diterjunkan sebagai pasukan paramiliter membantu pasukan rezim Suriah dan syiah Hizbullah dalam menghadapi oposisi dan ISIS. Mereka mengunakan dalih ada ancaman-ancaman atas tempat-tempat suci Syiah di Suriah, terutama sekitar Damaskus, sebagai alasan kehadirannya di Suriah.
Pekan lalu, jurubicara Garda Revolusi Iran mengatakan bahwa Abdullah Bagheri, seorang mantan pengawal presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, telah terbunuh di Aleppo, bagian utara Suriah.
Dua pekan silam, Jenderal Hussein Hammedani, salah satu komandan tertinggi Korps Pengawal Revolusi, sebuah pasukan elit Iran, tewas di Aleppo. Dia merupakan komandan Iran paling senior yang terbunuh dalam operasi militer di luar negeri.
Seorang pejabat Amerika pekan lalu mengatakan bahwa tidak kurang dari 2.000 orang Iran, atau serdadu dukungan Iran, ambil bagian dalam serangan terhadap pasukan oposisi Suriah. Mereka berkoordinasi dengan pasukan Rusia dan tentara pendukung rezim Bashar Al-Assad.
Sejak tahun kedua perang sipil di Suriah, Iran terus meningkatkan kehadiran militernya di negara itu.
Oleh karena mendapatkan kecaman dari dalam negeri dan dunia internasional atas keterlibatannya dalam konflik Suriah, Teheran lebih memilih untuk mengerahkan orang-orang asal Afghanistan yang tinggal di Iran.
Dilansir Euronews (27/10/2015) Brigade Fatemiun –yang diambil dari nama putri Nabi Muhammad, Fatimah– merekrut ratusan migran asal Afghanistan yang berada di Iran. Orang-orang Afghanistan itu dilatih dan dikerahkan oleh pemerintah Syiah Teheran untuk bertempur di Suriah. Iran menjanjikan orang-orang itu bayaran $500 setiap bulan, dan ditambah dengan status penduduk permanen di Iran.
Pemerintah Syiah Iran merupakan pendukung setia rezim Syiah Alawi pimpinan Bashar Al-Assad di Suriah. Bertentangan dengan retorika yang selama ini dikemukakan, motivasi Iran di Suriah jauh melebihi sekedar masalah keagamaan (Syiah versus Muslim Sunni). Faktor geopolitik kawasan ikut bermain di sana. Selama delapan tahun perang antara Iran dengan Iraq, pemimpin Suriah ketika itu Hafidz Al-Assad (ayah dari Bashar Al-Assad), merupakan satu-satunya sekutu Iran di Arab.
Selain itu, Suriah tidak pernah menuntaskan perjanjian perdamaiannya dengan Israel, berbeda dengan Mesir dan Yordania. Konsekuensinya, negara Suriah, bersama dengan kelompok bersenjata Syiah asal Libanon Hizbullah, dan Iraq yang sekarang pemerintahannya dikuasai politisi-politisi Syiah, dianggap sebagai komponen dari apa yang disebut Iran dengan Axis of Resistance ‘poros perlawanan’ terhadap Israel.
Para pemimpin Iran mengetahui, jika mereka kalah di Suriah, maka hal itu akan menjadi hantaman besar bagi pamor dan pengaruh negeri Syiah itu di mata kerajaan-kerajaan Arab kaya minyak serta Israel. Negara Syiah Iran, jika kalah di Suriah, tidak akan lagi ditakuti oleh negeri-negeri Muslim Sunni.*