Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Heru Susetyo
Suu Kyi Bukan Pahlawan Rohingya
Pertanyaan kemudian, bagaimana dengan nasib etnis Rohingya di era Daw Aung San Suu Kyi dibandingkan dengan semasa di bawah pemerintahan junta militer sejak 1962?
Harapan yang membuncah dari etnis Rohingya terhadap Suu Kyi adalah harapan yang wajar. Walaupun Suu Kyi berasal dari etnis mayoritas Burma, namun ia adalah simbol perjuangan dan kegetiran Myanmar di bawah junta militer. Ia mengerti betul tentang apa itu penderitaan. Sejak ayahnya dibunuh ketika ia berusia dua tahun. Lalu ia menjadi tahanan rumah selama 21 tahun, dicekal tak boleh ke luar negeri. Kalaupun ke luar negeri juga tak boleh kembali masuk ke Myanmar.Larangan mana membuatnya tak dapat merawat dan mendampingi suaminya, Dr.Michael Aris yang wafat karena kanker prostat di Oxford pada 27 Maret 1999.
Lebih dari itu, Suu Kyi adalah pejuang pro demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) Myanmar. Yang memimpin rakyat sipil Myanmar dari pelbagai etnis, bahasa, ras, dan golongan sosial untuk lepas dari jerat junta militer menuju demokrasi.Dimana kedaulatan rakyat dan hukum adalah menjadi panglima.
Sayangnya, harapan etnis Rohingya terhadap Suu Kyi adalah seperti pungguk merindukan bulan. Kenyataannya, Suu Kyi memilih sikap diam ketika berhadapan dengan isu Rohingya. Fenomena ini ditangkap Harian the Guardian edisi 19 Mei 2015 yang mengangkat judul “Why is Aung San Suu Kyi silent on the plight of the Rohingya people? :
Artikel di The Guardian tersebut mengungkap kondisi dilematis seorang Aung San Suu Kyi. Sekaligus mempertanyakan sikap diam-nya yang tentunya tak beralasan, Apalagi ia seorang peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991. Bagaimana bisa seorang peraih Nobel Perdamaian dan pejuang HAM bersikap diam terhadap penindasan etnis minoritas yang terjadi di pelataran rumahnya sendiri?The Guardian menduga bahwa sikap diam Suu Kyi adalah karena khawatir, apabila dia memberikan pernyataan, akan memicu gejolak di antara mayoritas Buddhist dan etnis Rohingya. Apalagi Myanmar sedang mengalami transisi demokrasi dimana ia mesti bermain cantik di antara membela nasionalisme mayoritas Burma dan Buddhist sekaligus menjaga kepentingan etnis minoritas di Myanmar yang sama-sama menjadi bagian dari warga negara Myanmar.
Tidak hanya bersikap pasif terhadap etnis Rohingya, Aung San Suu Kyi ternyata juga tidak menyukai istilah ‘Rohingya’. Sebelum menyampaikan pada UN Special Rapporteur, Suu Kyi telah menyampaikan hal yang samakepada Duta Besar AS di Myanmar, Scot Marciel. Harian New York Times edisi 7 Mei 2016 dalam artikel berjudul ‘Aung San Suu Kyi Asks US Not to Refer to “Rohingya” menuliskan : Daw Aung San Suu Kyi, the leader of Myanmar’s first democratically elected government since 1962, embraced that view last week when she advised the United States ambassador against using the term “Rohingya” to describe the persecuted Muslim population that has lived in Myanmar for generations. Her government, like the previous military-led one, will not call the Rohingya people by that name because it does not recognize them as citizens, said her spokesman, U Kyaw Zay Ya, a Foreign Ministry official.
Lebih dari itu, sikap diskriminatif Suu Kyi nampak ketika ia pernah marah ketika diwawancarai Mishal Husain, seorang wartawan muslim keturunan Pakistan. Insiden ini terjadi ketika Suu Kyi ditanya soal kekerasan terhadap warga minoritas muslim Rohingya oleh televisi Inggris BBC.Begitu kesalnya, Suu Kyi dengan hasil wawancara itu hingga dia sempat terdengar menggerutu di saat off-air.“Tidak ada yang memberitahu saya, saya akan diwawancara oleh seorang muslim,” ucap Suu Kyi (Hidayatullah.com, 27/3/ 2016)
Sayangnya, Suu Kyi lupa, bahwa etnis Rohingya adalah juga bagian dari negeri Myanmar. Kendati UU Kewarganegaraan Burma tahun 1982 mengecualikan Rohingya sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar, namun secara historis, sosial dan budaya, eksistensi Rohingya di Myanmar (Arakan State) adalah kenyataan sosial yang tak terbantahkan.
Maka, harapan etnis minoritas Rohingya terhadap Aung San Suu Kyi, bahwa ia akan memperjuangkan eksistensi dan hak asasi Rohingya sebagai warganegara Myanmar adalah masih jauh panggang daripada api. Suu Kyi masih mengedepankan pemikiran politis untuk mengamankan pemerintahan dan kekuasaan partai-nya yang memegang kekuasaan di Myanmar sejak Maret 2016, kekuasaan mana ditopang oleh mayoritas warga Burma-Buddhist, daripada memperhatikan apalagi membela kepentingan etnis minoritas Rohingya. Jangankan membela Rohingya, istilah ‘Rohingya’-pun ia tak suka. Maka, Ia-pun bersikap hyper sensitive terhadap pertanyaan-pertanyaan terkait Rohingya dan Muslim. Sesuatu yang harusnya tak terjadi dari seorang figur pejuang demokrasi dan HAM, serta peraih Nobel Perdamaian yang pernah sekian lama hidup menderita dalam kungkungan junta militer. Rohingya kini masih dan terus akan menderita. Sementara Suu Kyi sudah bebas dan bahkan kini berkuasa. Semoga perjalanan waktu akan membukakan mata, pikiran dan hati Suu Kyi untuk Rohingya. Sehingga ia tak lagi menjadi Pahlawan Myanmar namun juga Pahlawan bagi Rohingya.*
Staf Pengajar Viktimologi & Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Indonesia