Hidayatullah.com—Jenderal Manuel Antonio Noriega, bekas pemimpin militer dan penguasa de facto Panama, telah meninggal dunia dalam usia 83 tahun, demikian menurut pengumuman resmi pemerintah, lapor BBC.
Noriega belum lama ini menjalani operasi karena mengalami pendarahan menyusul pembedahan di bagian otak.
Noriega adalah sekutu dekat dan penting Amerika Serikat, tetapi kemudian dilengserkan dari kekuasaan ketika pasukan AS menginvasi Panama tahun 1989. Dia kemudian dijebloskan ke penjara di Amerika Serikat dengan tuduhan narkoba dan pencucian uang.
Sejak itu Noriega menjalani sisa umurnya dalam tahanan. Terakhir dia mendekam di sel di Panama dengan tuduhan pembunuhan, korupsi dan penggelapan uang.
Bekas diktator itu dikeluarkan dari kerangkeng dan ditempatkan dalam tahanan rumah pada Januari 2017, untuk mempersiapkan dirinya menjalani operasi pengangkatan tumor otak pada awal bulan Maret.
Dia lalu menjalani operasi bedah lanjutan setelah mengalami pendarahan, tetapi akhirnya wafat hari Senin (29/5/2017) malam waktu setempat di RS Santo Tomas di ibukota Panama City. Demikian menurut pengumuman Menteri Komunikasi Panama Manuel Dominguez.
“Kematian Manuel Noriega menutup satu bab dalam sejarah kita, putri-putri dan keluarganya dan berhak dimakamkan dalam damai,” kata Presiden Panama Juan Carlos Varela lewat Twitter.
Dilahirkan di Panama City pada 11 Februari 1934, Noriega tidak pernah dipilih atau terpilih sebagai pemimpin Panama lewat pemilu. Dia menjadi pemimpin de facto Panama dan menjadi penguasa militer di negeri itu selama 6 tahun pada era 1980-an.
Dia menempuh pendidikan di akademi militer di Peru dan memulai hubungan eratnya selama 30 tahun dengan intelijen Amerika CIA.
Noriega membantu Jenderal Omar Torrijos dalam kudeta menggulingkan Presiden Arnulfo Arias pada 1968. Pengaruhnya semakin menguat menyusul kematian misterius Jenderal Torrijos dalam kecelakaan pesawat tahun 1981. Noriega kemudian menjadi penguasa de facto Panama pada 1983 dengan pangkat jenderal.
Terkait hubungan mesranya dengan pemerintah Amerika Serikat, Noriega memiliki peran penting dalam skandal Iran-Contra di pertengahan 1980-an. Skandal itu melibatkan kongkalikong penjualan senjata pemerintah Amerika dengan Iran dan penyelundupan obat-obatan terlarang dalam jumlah besar, yang sebagian hasilnya diselundupkan ke Nikaragua guna menyokong operasi rahasia Amerika Serikat dalam mendukung pasukan oposisi Contra melawan pemerintahan komunis Sandinista pimpinan Daniel Ortega.
Hubungan baik Noriega dengan Amerika Serikat berakhir menyusul invasi pasukan AS ke Panama tahun 1989. Pada 3 januari 1990 Noriega menyerahkan diri, lalu dijadikan terdakwa penyelundupan narkoba, pemerasan dan pencucian uang oleh AS dan mendekam dalam penjara Paman Sam selama 17 tahun. Tidak hanya itu, Noriega pun dipermalukan dalam persidangan dengan diungkapnya rahasia bahwa jenderal itu mengenakan pakaian dalam berwarna merah untuk “menolak bala mata orang jahat.”
Semasa dalam penjara di Amerika, Noriega diadili secara in absentia di Prancis dengan tuduhan pencucian uang dan divonis 7 tahun penjara. Setelah Amerika Serikat menyetujui ekstradisinya ke Pancis, pengadilan di sana menyetujui permintaan Panama pada Desember 2010 agar Noriega dipulangkan ke negeri asalnya. Sesampainya di kampung halaman, Noriega dikenai dakwaan kriminal lainnya.
Dalam wawancara dengan Panamian TV tahun 2015, Noriega membacakan pernyataan permintaan maaf.
“Saya meminta maaf kepada siapa saja yang merasa tersinggung, terpengaruh, dirugikan atau dipermalukan oleh tindakan-tindakan saya atau mereka yang menjadi atasan saya saat melaksanakan tugas, atau oleh bawahan saya, pada masa pemerintahan sipil dan militer saya,” kata Noriega dua tahun lalu.*