Hidayatullah.com—Lima remaja pelajar Gambia yang membuat sebuah robot untuk diikutsertakan dalam kompetisi internasional di Amerika Serikat tidak dapat berangkat menemani hasil karyanya, karena permohonan visa mereka ditolak.
Pelajar-pelajar asal Gambia itu menjadi tim kedua yang tidak dapat menghadiri kompetisi robot FIRST Global pada 16-18 Juli 2017, yang digelar di ibukota Amerika Serikat Washington DC. Hari Sabtu (1/7/2017) dikabarkan bahwa tim Afghanistan, yang semuanya perempuan, juga ditolak permohonan visanya untuk mengikuti acara yang sama, lapor Aljazeera Senin (3/7/2017).
Mokhtar Darboe, direktur riset, sains dan teknologi di Kementerian Pendidikan Tinggi Gambia, mengatakan kepada Aljazeera bahwa tim yang terdiri dari pelajar SMA berusia 17-18 tahun itu “sangat kecewa.”
“Mereka mengerahkan semua daya dan upayanya untuk membuat [robot] ini, dan sekarang, setelah semua pengorbanan dan energi yang mereka keluarkan, mereka dibuat kecewa,” kata Darboe, yang juga bertindak sebagai mentor tim, kemarin.
Meskipun demikian, kata Darboe, robot berupa mesin sortir bola hasil karya pelajar SMA Gambia itu akan dikirim dalam satu dua hari. Anggota dari Gambian American Association akan mewakili tim dalam kejuaraan itu, dan para pelajar di ibukota Gambia, Banjul, akan menyaksikannya lewat Skype.
Mesin sortir bola dalam praktek di dunia industri biasa dipergunakan untuk menyeleksi barang sejenis dengan ukuran berbeda.
Darboe mengatakan membuat robot itu sulit. Ketika komponen-komponen yang dibutuhkan datang, petugas pabean memeriksa lama barang-barang tersebut. “Mereka bertanya apa kami akan membuat ‘RoboCop’,” ujar Darboe.
FIRST Global Challenge terbuka untuk pelajar berusia 15 sampai 18 tahun dari seluruh dunia. Menurut FIRST, sekitar 158 negara akan mengikuti kompetisi tahun ini, termasuk di antaranya 40 negara asal Afrika. Sejauh ini, hanya tim dari Gambia dan Afghanistan yang permohonan visanya ke Amerika Serikat untuk menghadiri acara itu ditolak.
Darboe mengatakan permohonan visa dari pihaknya ditolak tidak lama setelah sesi wawancara di Kedutaan AS di Banjul dilakukan pada bulan April 2017. Pihak Kedutaan AS tidak menjelaskan mengapa visa tersebut tidak dikeluarkan.
“Kami hanya diberitahu kalau kami tidak memenuhi syarat, dan kami disuruh mencoba lagi,” imbuhnya.
Lebih lanjut Darboe mengatakan bahwa masing-masing pelajar membayar $170 untuk mengajukan visa. “Orangtua mereka berkorban banyak untuk membayar biaya visa itu.”
Fatoumata Ceesay, programer tim, kepada Aljazeera mengatakan mereka harus menerima kenyataan bahwa hasil karyanya akan dijalankan oleh pelajar lain yang ada di Amerika. Siswi berusia 17 tahun itu mengaku bekerja siang malam selama bulan Ramadhan, dengan hanya sedikit bimbingan, untuk menyelesaikan proyek mereka.
“Dan kami mulai merangkainya setelah mengetahui bahwa visa kami ditolak. Kami tetap menggarapnya meskipun tahu kami tidak akan bisa berangkat,” imbuhnya.
Khadijatou Gassam, pelajar jurusan sains berusia 17 tahun yang menjadi jubir tim, mengatakan bahwa bulan lalu mereka mendapat dukungan semangat dari Dubes AS Patricia Alsup agar menyelesaikan proyek tersebut.
Ketika Aljazeera mencari komentar dari pihak Kedutaan AS di Banjul perihal penolakan visa itu, jubir Biro Konsuler Kevin Brosnahan mengatakan tidak dapat membicarakan kasus-kasus individual.
Pekan lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengizinkan pelaksanaan parsial dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Trump terkait larangan kunjungan ke wilayah AS orang-orang dari 6 negara mayoritas Muslim. Namun, Gambia dan Afghanistan tidak termasuk dalam daftar itu.
Bulan Maret lalu, sedikitnya 60 orang dari Afrika ditolak visanya untuk menghadiri African Global Economic and Development Summit di California. Kala itu, pihak penyelenggara mengaku tidak tahu pasti apakah penolakan itu berkaitan dengan kebijakan anti imigrasi Trump.*