Hidayatullah.com–Inggris akan menunda program pelatihan pelatihan terhadap pasukan Myanmar menyusul kekerasan di Rakhine, kata seorang jurubicara pemerintah hari ini.
“Sampai hari ini, Kementerian Pertahanan mengatakan tidak akan ada lagi kerjasama pertahanan atau pelatihan dengan tentara Burma sampai kami puas masalah ini telah diselesaikan,” Perdana Menteri Inggris Theresa May kepada wartawan di New York hari Selasa (19/09/2017) sebagaimana dikutip laman telegraph.co.uk.
Langkah Inggris diambil sebagai merespon keterlibatan militer Myanmar dalam krisis kemanusiaan di Rakhine. Dalam pernyataannya, pemerintah London ‘’sangat prihatin” atas pelanggaran HAM di Rakhine terhadap etnis Muslim Rohingya.
Theresa May mengaku mendapat tekanan sejak ada tudingan militer Myanmar melakukan kejahatan hingga menyebabkan ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
“Kami sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada orang Rohingya di Burma. Tindakan militer terhadap mereka harus dihentikan,” kata May.
“Kami mendesak Angkatan Bersenjata Burma untuk segera mengambil tindakan untuk menghentikan kekerasan di Rakhine dan memastikan perlindungan terhadap semua warga sipil, memberikan akses penuh terhadap bantuan kamanusiaan,” kata seorang juru bicara pemerintah Inggris dalam sebuah pernyataan.
Baca: Israel Dukung Senjata dan Pelatihan Militer pada Rezim Myanmar
Inggris menghabiskan sekitar £ 305.000 tahun lalu untuk program pendidikan militer, pelatihan bahar Inggris, demokrasi, dan kepemimpinan. Program ini tidak termasuk pelatihan tempur.
Keputusan Inggris untuk menunda kerja sama militer dilakukan setelah Boris Johnson, Sekretaris Luar Negeri Inggris, bergabung dengan perwakilan delapan negara lainnya untuk mengangkat masalah tersebut di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Boris Johnson mendesak Aung San Suu Kyi untuk mengakhiri penganiayaan terhadap etnis Muslim Rohingya.
Sebelum ini terungkap penjajh Israel termasuk terilibat dalam memasok senjata kepada junta militer Myanmar meski penganiayaan terhadap minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine yang terus berlanjut.
Senjata yang dijual ke junta tersebut dilaporkan mencakup lebih dari 100 tank dan kapal serta jenis senjata lainnya.
Perusahaan senjata Israel seperti TAR Ideal Concepts juga terlibat dalam pelatihan pasukan khusus Myanmar, yang saat ini berada di Rakhine, tempat di mana sebagian besar kekerasan terhadap Muslim Rohingya terjadi. Beberapa media Israel sempat memposting militer Israel melatih anggota pasukan Myanmar mengenai taktik tempur dan penggunaan senjata khusus.
Sebagaimana diketahui, suplai senjata mengalir deras ke Myanmar, terjadi setelah junta militer pada tahun 2010 mengumumkan mereka bersedia memulai transisi menuju demokrasi dan menerapkan reformasi demokrasi.
Sejak saat itu, impor senjata dari China, Rusia, dan negara-negara lain meningkat secara dramatis.
Impor senjata ke Myanmar pada tahun 2011 melonjak ke level tertinggi sepanjang sejarah negeri itu, mencapai hampir 700 juta dolar AS, naik dua kali lipat dari angka impor tertinggi sejak 1989. Tahun berikutnya, 2012, angka itu tetap nyaris sama tinggi.
Sepanjang tahun-tahun itu ketika impor senjata bertambah besar-besaran, angka kematian dalam konflik bersenjata di Myanmar juga meningkat setelah satu dekade sebelumnya turun.
Hasilnya, militer Myanmar saat ini jauh lebih kuat dari yang dahulu–seperti juga kebanyakan militer-militer negara lain.*