Hidayatullah.com—Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan Bashar al Asaad adalah pemimpin Negara teroris karena telah membunuh hampir satu juta lebih warganya sendiri.
Lebih jauh ia mengatakan tidak berminat melakukan kerja sama dengan Bashar al Assad di Suriah.
“Kami sama sekali tidak akan mau berjalan bersama Assad di Suriah. Untuk apa? Bagaimana kami bisa merangkul pemimpin negara yang telah membunuh hampir satu juta rakyatnya? Apakah rakyat Suriah menginginkan pemimpin seperti dia? saya sampaikan dengan terang dan jelas bahwa Assad adalah pemimpin negara yang teroris,” ujar Erdogan dikutip Anadolu Agency, Kamis (28/12/2017) saat konferensi pers yang disiarkan televisi setempat, yang digelar di Tunis usai bertemu Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi.
Turki sejak lama menginginkan Bashar Assad lengser dari jabatannya. Negara ini juga mendukung kelompok oposisi dan pembebasan di Suriah setelah Assad banyak mendapat dukungan Iran dan milisi Syiah berbagai negara.
Baca: Saksi Hidup Berbicara: Pembantaian Bashar al Assad Abad ke-21
Beberapa waktu terakhir, Turki melunak setelah terlibat dalam upaya perundingan mencari resolusi politik untuk konflik Suriah, dengan Rusia dan Iran yang merupakan sekutu dekat Assad. Turki menjadi salah satu pemain kunci dalam upaya mengakhiri konflik Suriah.
Pernyataan Erdogan ini disampaikan beberapa hari setelah pihak-pihak yang terlibat perundingan sepakat menggelar kongres perdamaian untuk konflik Suriah di Sochi, Rusia pada akhir Januari 2018 mendatang. Upaya sebelumnya untuk menggelar kongres perdamaian di Sochi pada November lalu gagal karena tidak adanya kesepakatan.
Sejak perang sipil merebak di Suriah pada Maret 2011, ketika rezim Bashar al-Assad mulai menindak keras demonstrasi pro-demokrasi, bahkan menyerangnya dengan senjata mematikan.
Baca: Yang Perlu Diketahui: Apa Perang Suriah, Rezim Bashar dan Keterlibatan Syiah
Perang bermula saat peristiwa yang lazim dijuluki “Musim Semi Arab” (Arab Spring) tahun 2011. Di mana bermula sekelompok remaja menuliskan grafiti di dinding Kota Daraʼa.
Gelombang aksi menjadi besar setelah aparat yang menuntut “kebebasan dan keadilan” dihadapi senjata oleh Rezim Bashar. Penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan diberlakukan kepada siapa saja yang menunjukkan tanda-tanda mengkritisi rezim yang sedang murka. Tank-tank berpatroli di dalam kota seakan-akan perang. Aparat intelijen mengepung masjid-masjid menjelang waktu shalat Jumʼat, memeriksa KTP setiap orang bahkan menghancurkan gedung-gedung dengan menggunakan bom gentong dan pesawat.
Enam tahun setelah perang yang melanda Suriah, lebih setengah juta warga Suriah telah tewas dan jutaan mengungsi ke luar Suriah (Turki, Libanon, Yordania dan Eropa) berpindah ke bagian lain di dalam Suriah sendiri (Internally Displaced Persons).*