Hidayatullah.com—Tiga tahun lalu, sejumlah pria bersenjata menyerang kantor tabloid Charlie Hebdo di Paris. Majalah mingguan satir itu mengaku kesulitan memenuhi tagihan keamanan yang mencapai jutaan euro pertahun.
Hari Ahad (7/1/2018), para menteri Prancis dijadwalkan menghadiri peringatan kematian para jurnalis Charlie Hebdo yang tewas dalam serangan tiga tahun silam, yang dipicu oleh penerbitan karikatur pelecehan terhadap Islam dan Nabi Muhammad.
7 Januari 2015 Said dan Cherif Kouachi bersaudari menyerbu ruang rapat redaksi Charlie Hebdo di kantor pusatnya di Paris. Dua belas orang tewas akibat tembakan, termasuk 5 jurnalis dan kartunis senior.
Dua hari kemudian, kota Paris dibanjiri manusia yang memprotes serangan berdarah itu sekaligus menunjukkan simpati kepada korban dengan motto “Je suis Charlie” (saya Charlie). Unjuk rasa serupa terjadi di banyak kota di berbagai negara.
Edisi pertama Charlie Hebdo usai serangan itu terjual lebih dari 7 juta eksemplar.Omzet Charlie meroket sampai 60 juta euro (lebih dari 968 miliar rupiah) di tahun 2015.
Namun, banjir uang itu rupanya tidak berlangsung lama. Di tahun 2016, penjualan tabloid mereka menunjukkan penurunan drastis, dengan omzet hanya 19 juta euro.
Tidak hanya itu, Charlie mengatakan ancaman mati terus berdatangan di media sosial. Akibatnya, mereka terpaksa mencari perlindungan. Biaya keselamatan jiwa mereka pun tidak gratis, Charlie mengaku kewalahan untuk memenuhi tagihan keamanan yang mencapai 1,5 juta euro pertahun.
“Apa ini normal bagi media cetak di negara demokrasi yang mana satu dari setiap dua koran yang terjual di lapak harus dipakai untuk membayar biaya keamanan kantornya?” kata Laurent Sourisseau, redaktur Charlie Hebdo.
Wartawan Charlie Fabrice Nicolino mengatakan bahwa para staf mereka dalam kondisi “berduka tiada akhir”, hidup dan bekerja dalam kondisi “yang tidak memberikan kehormatan kepada Prancis.”
Jurnalis Charlie Guillaume Emer mengatakan bahwa Prancis sekarang berpaling dari Charlie Hebdo setelah sebelumnya menjadikan koran itu sebagai simbol.
“Sungguh luar biasa, kami tidak banyak mendapat dukungan dari negara. Negara ini mengingnkan kami menjadi malaikat. Padahal kami sama sekali bukan malaikat,” ujarnya seperti dilansir Euronews (5/1/2018).