Sambungan artikel PERTAMA
Takut akan masa depan
Etnis Hui berjumlah hampir 10 juta, setengah dari populasi Muslim negara itu, menurut statistik pemerintah pada 2012.
Di Linxia, mereka secara historis terintegrasi baik dengan etnis Han yang mayoritas, mampu secara terbuka mengekspresikan pengabdian mereka dan memusatkan kehidupan mereka dalam agama.
Para perempuan berkerudung menyantap daging domba rebus di restoran-restoran halal sementara para pria berkopyah putih masuk ke masjid-masjid untuk sholat Maghrib, melewati toko-toko yang menjual karpet dan “delapan teh harta karun”, makanan khas lokal meliputi kurma dan pucuk krisan kering.
Namun pada Januari, pemerintah setempat menandatangani sebuah keputusan – yang didapatkan oleh AFP – yang berjanji untuk memastikan tidak ada organisasi atau individu yang akan “mendukung, mengizinkan, mengatur atau membimbing anak-anak memasuki masjid untuk mempelajari Quran atau melakukan kegiatan agama”, atau mendorong mereka pada keyakinan agama.
Para imam di sana diminta untuk mematuhi hal itu secara tertulis, dan hanya satu yang menolak, menerima kemarahan pemerintah dan rasa malu dari rekan-rekannya, yang sejak itu menghindarinya.
“Saya tidak dapat bertindak melawan keyakinan saya. Islam membutuhkan pendidikan dari buaian hingga kubur. Begitu anak-anak dapat berbicara kita seharusnya mulai mengajarkan mereka kebenaran kita,” jelasnya pada AFP.
“Ini seperti kita perlahan-lahan bergerak mundur kembali ke penindasan Revolusi Budaya,” pembersihan agama nasional dari tahun 1966 hingga 1976 ketika masjid-masjid setempat dibongkar atau diubah menjadi kandang keledai, katanya.
Imam-imam lain mengeluh otoritas semakin sedikit mengeluarkan sertifikat yang dibutuhkan untuk melatih atau mengajar dan sekarang hanya kepada lulusan lembaga-lembaga yang direstui pemerintah.
“Untuk saat ini, ada cukup banyak orang-orang seperti kami, namun Saya takut pada masa depan. Bahkan jika masih ada murid, tidak akan ada orang yang berkualitas untuk mengajari mereka,” kata salah satu imam.
Otoritas setempat gagal menjawab panggilan berulang kali dari AFP yang menginginkan komentar namun larangan anak-anak muda Linxia ini muncul ketika China mengeluarkan Peraturan Agama yang diperbaharui.
Aturan-aturan itu telah mengintensifkan hukuman untuk kegiatan-kegiatan agama yang tidak sah di seluruh agama dan daerah.
Beijing sedang menarget anak-anak yang belum dewasa “sebagai jalan untuk memastikan bahwa tradisi agama mati sementara juga mempertahankan kontrol pemerintah atas ideologi,” kata William Nee, peneliti China di Amnesty Internasional.
Baca: Memetakan Kamp Penahanan Xinjiang China bagi Muslim Uyghur .
Imam lain mengatakan menegangnya situasi di Xinjiang adalah akar dari perubahan di Linxia.
Pemerintah mempercayai bahwa “kesalehan agama menumbuhkan fanatisme, yang memunculkan ekstrimisme, yang mengarah pada tindakan teroris – jadi mereka ingin mensekulerkan kami,” jelasnya.
Sementara itu seorang pelajar muda dari Xinjiang menjelaskan bahwa keluarganya telah mengirimnya ke Linxia sejak berumur 5 tahun untuk mempelajari Quran dengan kebebasan yang tidak mungkin diperoleh di kota kelahirannya.
“Situasinya sangat berbeda di sini,” katanya. “Saya berharap masih bisa tinggal.” */Nashirul Haq AR