Hidayatullah.com—Kroasia bersikukuh membantah mendeportasi pengungsi dan migran ilegal ke negara tetangga Bosnia-Herzegovina. Namun, dalam wawancara baru-baru ini, Presiden Kroasia mengakui petugas penjaga perbatasan memaksa para migran mundur ke Bosnia.
Tahun belakangan, banyak pengungsi yang berusaha menyeberang ke Uni Eropa melalui perlintasan perbatasan tidak resmi antara Kroasia dan Bosnia-Herzegovina melaporkan perlakuan brutal petugas penjaga perbatasan Kroasia. Laporan-laporan media bahkan menunjukkan para pengungsi –termasuk anak-anak– mengalami luka yang mereka katakan akibat tindakan keras polisi Kroasia.
Kebanyakan media Kroasia mengabaikan laporan-laporan kekerasan semacam itu, yang terjadi kurang dari 150 kilometer dari ibukota Zagreb. Tidak hanya itu, Kementerian Dalam Negeri juga membantah laporan tentang perlakuan buruk terhadap pengungsi di perbatasan, membantah laporan perihal polisi perbatasan melakukan apa yang disebut push-back.
Amnesty International mengkritik sikap diam para pejabat Uni Eropa. “Dengan memprioritaskan kontrol perbatasan dibanding hukum internasional, pemerintah-pemerintah Eropa tidak hanya menutup mata terhadap serangan brutal oleh polisi Kroasia, tetapi juga mendanai aktivitas-aktivitas mereka,” kata organisasi peduli HAM itu dalam sebuah pernyataan bulan Maret.
Namun, sejak lembaga penyiaran Swiss SRF menunjukkan rekaman deportasi ilegal di perbatasan Kroasia-Bosnia pada bulan Mei, sulit bagi negara pecahan Yugoslavia itu untuk tetap menutupi kekerasan yang dilakukan polisinya terhadap pengungsi dan migran.
Awal bulan ini, Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic masih saja menganggap enteng tindakan brutal polisi di perbatasan. “Ketika seseorang melakoni perjalanan yang sulit ini, wajar saja dia mengalami lebam, tergores dan terluka,” kata wanita presiden itu kepada para jurnalis lokal saat mengunjungi perbatasan. “Lain kali kalian mendengar cerita tentang kebrutalan anggota-anggota kepolisian kami, kalian harus berpikir dua kali. Mereka bukannya melakukan kekerasan, saya bisa jamin itu.”
Grabar-Kitarovic bersikukuh mengatakan polisi tidak mendorong balik para pengungsi ke luar perbatasan kembaklai ke Bosnia, dengan dalih meraka yang berusaha masuk Uni Eropa itu bukan pengungsi, melainkan semata migran ekonomi.
Namun beberapa hari lalu ketika berbicara kepada SRF saat berkunjung ke Swiss, presiden Kroasia itu mengkonfirmasi apa yang dibantah oleh Kepolisian Kroasia selama berbulan-bulan, yaitu bahwa polisi Kroasia memang melakukan push-back.
“Saya sudah berbicara dengan menteri dalam negeri, kepala kepolisian dan para petugas di lapangan, dan mereka meyakinkan saya bahwa tidak ada penggunaan kekuatan yang berlebihan,” kata Grabar-Kitarovic, ketika kamera SRF masih aktif. “Tentu saja, sedikit kekuatan diperlukan untuk melakukan push-back.”
Jelena Sesar, seorang peneliti di Amnesty International, mengatakan kepada DW bahwa dia pernyataan presiden itu “sangat mengejutkan.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Berdasarkan hukum internasional dan hukum yang berlaku di Uni Eropa, pengusiran kolektif dan push-back adalah selalu ilegal,” ujarnya.
Dengan pernyataan itu, kata Sesar, Presiden Kroasia berusah menyatakan push-back sebagai tindakan legal dan membenarkan penggunaan “sedikit kekerasan.” Amnesty International menyeru agar Komisi Eropa menekan Kroasia agar mengakhiri taktiknya di perbatasan.
Ketika dimintai komentar perihal pernyataan Grabar-Kitarovic tersebut, Komisi Eropa mengatakan tidak ada komentar yang perlu diutarakan, lapor DW hari Ahad (14/7/2019).
“Kroasia … memiliki petugas perbatasan yang terkuat di bagian Eropa ini,” kata Menteri Dalam Negeri Davor Bozinovic dengan bangga saat berkunjung ke Berlin bulan Juni 2018, dengan tujuan mengkampanyekan negaranya agar diterima sebagai anggota Zona Schengen.*