Hidayatullah.com–Prancis berjanji akan serius menangani kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setelah serangkaian pembunuhan wanita oleh pria pasangannya terjadi tahun ini, dan akan membuat 1.000 tempat baru di penampungan-penampungan darurat.
Sebelas kelompok kerja yang dibentuk pemerintah mengajukan lebih dari 60 usulan sebagai upaya menekan kasus KDRT. Di antara usulan itu adalah hukuman penjara bagi orang yang menyebabkan pasangannya melakukan bunuh diri melalui kekerasan, meskipun tidak bermaksud menghilangkan dengan sengaja nyawa pasangannya itu.
Dilansir RFI Selasa (29/10/2019), Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa 121 orang mati di tangan pasangannya atau bekas pasangannya tahun 2018. Sementara kelompok-kelompok advokasi mengatakan tahun ini angka itu sudah terlampaui.
Hari Selasa dalam wawancara dengan koran Katolik La Croix, Menteri Kesetaraan Gender Marlène Schiappa mengatakan dirinya terkesan dengan beragam usulan yang diajukan kelompok kerja itu untuk mengatasi KDRT, dan mengatakan pemerintah akan membuat legislasinya dalam beberapa pekan mendatang.
Proses atau cara aparat kepolisian menangani pengaduan kasus KDRT juga diaudit. Pada pembukaan forum nasional tanggal 3 September, Perdana Menteri Edouard Philippe mengumumkan bahwa 400 kantor kepolisian akan diaudit bagaimana cara mereka memperlakukan wanita korban KDRT, guna memperbaiki hal-hal yang keliru dalam penanganan kasus kekerasan terhadap kaum Hawa.
Kelompok kerja tersebut juga melihat efek kekerasan psikis dalam rumah dan menyarankan agar diberi hukuman berat kepada orang yang melakukan kekerasan berulang sehingga menyebabkan atau mendorong orang lain (korban) bunuh diri.
Saat ini hukuman untuk pelaku KDRT maksimal lima tahun penjara dan denda 75.000 euro.
Berikut beberapa rekomendasi yang diajukan kelompok kerja itu.
Penyitaan senjata api atau senjata tajam dari pelaku begitu korban pertama kali melaporkan kasusnya.
Mempercepat penggodokan RUU kerahasiaan medis, guna memungkinkan dokter dan tenaga kesehatan melaporkan kasus kekerasan berulang ke pihak berwenang, tanpa persetujuan atau sepengetahuan pasien (korban).
Memberlakukan kebijakan perbankan sehingga korban dapat dibantu dalam masalah finansialnya, misal pencairan dana bantuan kedaruratan atau merestrukturisasi utang korban.
Pembatalan hak asuh anak bagi ayah yang telah membunuh pasangan mereka, serta menganggap anak juga sebagai korban.
Laporan final berisi rekomendasi dari kelompok kerja itu akan dipersentasikan pada 25 November, bertepatan dengan International Day for Elimination of Violence against Women.
Pada 15 Oktober wakil-wakil rakyat di Dewan Nasional sudah menyetujui penggunaan gelang elektronik yang dilengkapi sistem GPS bagi para pelaku KDRT, guna memastikan pelaku tidak mendekati lagi korbannya.
Anggota-anggota legislatif juga menggunakan jalur cepat agar teks RUU segera dimasukkan ke Senat, dengan harapan tahun depan sudah dapat diberlakukan sebagai undang-undang anti-KDRT yang baru.*