Hidayatullah.com—Sedikitnya 113 orang terkubur hidup-hidup ketika longsoran lumpur menyapu sebuah lokasi penambangan batu giok di bagian utara Myanmar, salah satu bencana paling parah yang terjadi di industri berbahaya itu.
Para pekerja sedang mengumpulkan bebatuan dari lahan berbukit-bukit di daerah Hpakant ketika mereka terjebak longsoran lumpur hari Kamis pagi (2/7/2020).
Foto-foto dari lokasi kejadian menunjukkan tim penyelamat sedang berusaha mencari korban. Sedikitnya 54 orang dilaporkan terluka dan dilarikan ke tiga rumah sakit, kata seorang anggota dewan setempat dari Hpakant, Khin Maung Myint, kepada Associated Press seperti dilansir The Guardian.
Kondisi lokasi pertambangan sangat berbahaya bagi buruh tambang batu giok yang diketahui berupah sangat minim, terutama apabila musim angin muson yang membawa banyak hujan sedang melanda Myanmar. Tahun lalu, 54 pekerja tambang terkubur longsoran lumpur dari sebuah danau, yang tepiannya ambrol di dekat sebuah lokasi tambang batu giok di Hpakant. Warga dari kalangan rakyat miskin etnis minoritas, yang mencari serpihan bebatuan yang ditinggalkan perusahaan pertambangan besar, seringkali menjadi korban longsoran di lokasi tambang.
Pemerintah Myanmar sebelumnya berkali-kali berjanji akan membersihkan industri giok yang mendatangkan hujan uang bagi negara itu, tetapi sampai saat ini industri yang umumnya dikuasai kalangan elit militer dan konglomerat itu masih tidak diregulasi dengan baik.
Hpakant, termasuk wilayah negara bagian Kachin, menyimpan deposit terbesar batu giok sedunia dengan kualitas tinggi. Namun, sayangnya kekayaan alam itu justru tidak memberikan kemakmuran bagi penduduk sekitar.
Pada tahun 2014, laporan Global Witness memperkirakan nilai produksi batu giok Myanmar mencapai $31 miliar atau hampir setengah dari GDP Myanmar tahun itu. Sebagian besar batu giok diselundupkan ke China, dimana batu giok secara tradisional dianggap sebagai batu mulia dan diasosiasikan dengan kaum bangsawan dan orang-orang super kaya.
Wilayah utara Myanmar sangat kaya dengan sumber daya alam, termasuk giok, kayu gelondongan, emas dan batu amber (topaz), yang menjadi sumber keuangan baik militer pemerintah Myanmar maupun pasukan pemberontak etnis Kachin, sementara rakyat sipil terjebak di antara pertikaian bersenjata kedua pasukan itu yang ingin menguasai kekayaan alam di sana.*