Hidayatullah.com—Libya telah setuju dengan Turki dan Qatar untuk menandatangani kesepakatan tripartit untuk kerja sama militer guna meningkatkan kemampuan militer Libya.
Perjanjian tersebut diumumkan oleh Wakil Menteri Pertahanan Libya Salah Al Namroush pada hari Senin (17/08/2020), TRT World melaporkan.
Menurut kantor media Burkan Al Ghadab (Volcano of Rage) milik pemerintah, al Namroush mengatakan Turki dan Qatar akan mendirikan fasilitas di Libya untuk pelatihan dan konsultasi militer.
Dia juga menambahkan bahwa sebagai bagian dari kesepakatan itu, Turki dan Qatar akan mengirimkan konsultan dan personel militer ke Libya.
Menteri Turki dan Qatar menekankan bahwa mereka mendukung solusi politik dan pemerintah yang sah, tambahnya.
Sebelumnya pada siang hari, Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar mengadakan pertemuan trilateral dengan sejawatnya dari Qatar Khalid bin Mohammad Al Attiyah dan Perdana Menteri Libya Fayez al Sarraj di Tripoli.
Akar, didampingi Kepala Staf Umum Jenderal Yasar Guler, mengunjungi kantor Perdana Menteri Libya untuk pertemuan tersebut.
Dia juga mengunjungi Komando Penasihat Kerja Sama dan Pelatihan Keamanan Pertahanan yang dibentuk sebagai bagian dari nota kesepahaman antara Turki dan Libya.
Menteri pertahanan Turki juga mengadakan pertemuan trilateral lainnya dengan mitranya dari Qatar dan Menteri Dalam Negeri Libya Fathi Bashagha.
Kunjungan Menteri Turki, Qatar dan Jerman
Menteri Pertahanan Turki dan Qatar serta Menteri Luar Negeri Jerman telah mengunjungi ibu kota Libya Tripoli di tengah upaya untuk mengamankan gencatan senjata di negara yang terpecah itu.
Kedua menteri pertahanan tiba di Libya pada hari Senin (17/08/2020), di mana mereka memiliki kepentingan yang sama dalam menjaga stabilitas.
Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar bertemu dengan mitranya dari Qatar untuk membahas kerja sama keamanan bilateral serta masalah regional. Dalam pertemuan tersebut, Akar dan Khalid bin Mohammed el Atiye menekankan kemitraan strategis kedua negara.
“Kami percaya bahwa kami akan mencapai hasil yang diinginkan dengan mendukung saudara-saudara Libya kami dalam tujuan yang adil,” kata Akar selama kunjungannya di ibu kota Tripoli.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas juga tiba di ibu kota Libya pada saat yang bersamaan.
Maas melakukan kunjungan mendadak ke Tripoli pada hari yang sama, mengatakan bahwa dunia tidak boleh lalai dengan ‘ketenangan yang menipu” di Libya saat ini dan harus menemukan cara untuk mengakhiri konflik.
Maas mengatakan dalam sebuah pernyataan setibanya di negara Afrika Utara itu bahwa dia bertemu dengan para pejabat di pemerintahan yang diakui PBB di ibu kota untuk “berbicara tentang jalan keluar dari situasi yang sangat berbahaya ini” di mana kedua belah pihak dalam perang saudara yang berdarah sedang dipersenjatai oleh sekutu internasional.
Momentum Maju
Menteri Pertahanan Turki dan Kepala Staf Umum juga mengunjungi Libya pada hari yang sama untuk meninjau kegiatan yang dilakukan berdasarkan nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara.
Sebuah upacara militer diadakan untuk Akar dan Jenderal Guler setibanya mereka di Bandara Internasional Mitiga di ibukota Tripoli.
Kedua pejabat Turki tersebut berkunjung ke Komando Bantuan Pelatihan dan Kerja Sama Keamanan Pertahanan, yang dibuat sebagai bagian dari MoU antara Turki dan Libya.
Persetujuan Kerja Sama
Pada 27 November 2019, Ankara dan Tripoli menandatangani dua Nota Kesepahaman kritis; yang satu mensyaratkan perjanjian kerja sama militer, dan yang lainnya tentang batas-batas maritim negara-negara di Mediterania timur.
Pakta maritim menegaskan hak Turki di Mediterania timur menghadapi pengeboran ‘sepihak’ oleh pemerintahan Siprus Yunani, mengklarifikasi bahwa Republik Turki Siprus Utara (TRNC) juga memiliki hak atas sumber daya di daerah tersebut. Pakta tersebut mulai berlaku pada 8 Desember.
Menyusul kesepakatan kerja sama militer, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan Ankara dapat mempertimbangkan pengiriman pasukan ke Libya jika pemerintah Tripoli yang diakui secara internasional membuat permintaan seperti itu.
Perang di Libya
Pemerintah Libya yang diakui PBB, dibentuk pada 2015 setelah penggulingan Muammar Khaddafi pada 2011, telah menghadapi sejumlah tantangan, termasuk serangan oleh pemberontak Khalifa Haftar.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, Pemerintah yang didukung PBB telah membalikkan keadaan melawan milisi Haftar.
Turki mendukung pemerintah sah yang didukung PBB yang berbasis di ibu kota Tripoli, dan penyelesaian krisis non-militer. Sementara itu, pemberontak Haftar mendapat dukungan dari Rusia, Mesir, UEA, dan Prancis.*