Hidayatullah.com—Sri Lanka akhirnya membatalkan aturan kontroversial yang mengharuskan semua mayat penderita Covid-19 dikremasi.
Pemerintah Sri Lanka, negara sosialis yang agama resminya Buddha, berdalih pemakaman mayat penderita Covid-19 akan mencemari sumber air tanah.
Namun, tokoh-tokoh politik, agama dan masyarakat berulang kali mempertanyakan klaim pemerintah tersebut, menegaskan bahwa lebih dari 190 negara lain mengubur mayat korban Covid-19, mengikuti saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Masalah itu bahkan dibawa hingga ke Mahkamah Agung, tetapi dihentikan begitu saja tanpa ada kejelasan.
Perdebatan publik semakin memanas ketika bayi Muslim berusia 20 hari dipaksa dikremasi.
Para pengkritik mengatakan bahwa aturan itu dimaksudkan untuk menarget kaum minoritas dan tidak menghormati agama-agama yang eksis di negara itu.
Dilansir BBC Jumat (26/2/2021), pembatalan aturan tersebut dilakukan setelah Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. Sejumlah sumber mengatakan kepada BBC bahwa Sri Lanka mencari dukungan Pakistan dalam pertemuan badan urusan hak asasi PBB, UNHRC.
Lembaga PBB itu mengancam akan mengeluarkan resolusi baru karena pelanggan HAM terus terjadi di Sri Lanka, termasuk perlakuan diskriminatif terhadap Muslim.
Sri Lanka didesak untuk mengadili para pelanggar HAM dan memberikan keadilan kepada korban perang sipil yang sudah berlangsung selama 26 tahun di negara itu, yang menewaskan sedikitnya 100.000 orang – kebanyakan warga sipil dari suku minoritas Tamil.
Sri Lanka membatah tuduhan-tuduhan itu dan meminta agar negara-negara PBB tidak mendukung resolusi.
Negara itu dihujani kecaman dari berbagai organisasi peduli HAM, termasuk UNHRC, terkait perintah kremasi mayat penderita Covid-19.
Mereka mengatakan perintah tersebut tidak menghormati perasaan keagamaan korban dan keluarganya, terutama dari kalangan Muslim, Katolik dan sebagian penganut Buddha.*