Hidayatullah.com—Dalam waktu lima tahun akan terjadi kekurangan jumlah pelaut kapal niaga apabila tindakan untuk menambah jumlahnya tidak dilakukan, yang akan berpengaruh pada rantai suplai barang dunia, menurut sebuah laporan yang dirilis hari Rabu (28/7/2021).
Dilansir Reuters, menurut hasil studi yang dirilis asosiasi perdagangan BIMCO dan International Chamber of Shipping (ICS), industri pelayaran sudah kekurangan kru karena pandemi Covid-19, situasi yang akan memperburuk masalah pasokan tenaga kerja yang diperkirakan akan terjadi selama beberapa tahun ke depan.
Varian Delta menghantam beberapa bagian Asia dan mendorong banyak negara untuk menutup akses mendarat bagi para pelaut. Akibatnya kapten kapal tidak bisa merotasi kru yang sudah kelelahan dan sekitar 100.000 pelaut terdampar di tengah laut meskipun sebenarnya waktu kerjanya sudah selesai. Di tahun 2020 ketika banyak negara memberlakukan lockdown Covid, lebih dari 200.000 pelaut terjebak di kapal.
Studi yang dirilis oleh BIMCO dan ICS memperkirakan bahwa 1,89 juta pelaut mengoperasikan lebih dari 74.000 kapal niaga di berbagai belahan dunia.
Seafarer Workforce Report, yang terakhir diterbitkan pada tahun 2015, memperkirakan 89.510 pelaut tambahan akan dibutuhkan pada tahun 2026, berdasarkan proyeksi pertumbuhan pada sektor pelayaran perdagangan, dan mengatakan saat ini terjadi kekurangan sekitar 26.240 pelaut bersertifikat, mengindikasikan kebutuhan akan pelaut sudah melebihi pasokan tenaga kerja maritim di tahun 2021.
“Kita masih jauh dari jaring pengaman surplus tenaga kerja yang melindungi pasokan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan dunia,” kata Sekjen ICS Guy Platten.
“Tanpa tindakan segera dari pemerintah, pasokan pelaut akan mengering.”
Platten, mengutip survei industri, mengatakan bahwa saat ini kurang dari 20% pelaut dunia yang sudah divaksinasi Covid-19. Dia mendesak agar pemerintah-pemerintah memprioritaskan vaksinasi bagi pelaut.
“Negara-negara yang memasok sebagian besar pelaut dunia, seperti Filipina, Indonesia, dan India memiliki akses terbatas ke vaksin Covid-19, akan mengancam ketidakstabilan rantai pasokan lebih lanjut tanpa penanganan cepat.”*