Hidayatullah.com– Pengadilan di Tunisia mengeluarkan larangan bepergian atas 34 orang, termasuk pimpinan partai Islam moderat Ennahda, dengan alasan diduga terlibat dalam layanan keamanan paralel yang diberlakukan setelah revolusi Tunisia 2011.
Pimpinan Rnnahda Rachid Ghannouchi dan 33 lainnya telah menjadi sasaran dalam penyelidikan atas dugaan layanan tersebut, yang dijuluki “aparat rahasia”, yang dituding oleh sebagian pihak terlibat kasus pembunuhan dua militan sayap kiri yang masih belum terpecahkan.
Jubir pengadilan di Ariana, Fatma Bougottaya, hari Jumat malam (28/5/2022) mengatakan bahwa para tersangka memperoleh akses secara ilegal ke informasi yang berkaitan dengan institusi-institusi negara dan diduga membagikannya dengan seseorang yang tidak memiliki alasan sah untuk memilikinya, tindakan yang bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
Larangan bepergian itu dikeluarkan atas perintah Menteri Kehakiman Leila Jaffel, kata juru bicara pengadilan tersebut kepada Radio Mosaique seperti dilansir AFP.
Ghannouchi, yang saat ini juga menjabat sebagai ketua parlemen Tunisia – yang secara sepihak dibubarkan oleh Presiden Kais Saied – mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “apa yang disebut sebagai aparat rahasia itu adalah karangan pra-fabrikasi” dan merupakan “pemalsuan fakta.”
Dia mencela “operasi yang disengaja” yang dilakukan oleh pihak berwenang “dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari masalah nyata yang sebenarnya”, seperti krisis politik dan ekonomi dan masalah sosial di Tunisia.
Dia mengecam “tekanan berkelanjutan yang dilakukan oleh Presiden Saied” terhadap lembaga peradilan, yang dia perintahkan semaunya dengan alasan memburu korupsi.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ghannouchi, penentang keras kebijakan-kebijakan Presiden Kais Saied, mengecam tindakan luar biasa dan kontroversial yang diambil Saie pada 25 Juli lalu berupa pembubaran parlemen sebagai “kudeta” yang tujuannya adalah untuk memulihkan kediktatoran di Tunisia.
Sebagaimana diketahui, setelah mengumumkan pembubaran parlemen, Saied memecat perdana menteri dan memberikan kepada dirinya sendiri kekuasaan untuk memerintah lewat dekrit — langkah yang diklaimnya diperlukan untuk “menyelamatkan negara dari bahaya yang akan segera terjadi” dan memerangi korupsi yang merajalela.*