KONFLIK Suriah telah berjalan lebih dari setahun. Belasan ribu nyawa telah jatuh menjadi korban, tidak terkecuali wanita, anak-anak dan orangtua. Warga Suriah menjadi pengungsi di negeri sendiri. Dan itu masih terus terjadi hingga detik ini.
Di lain pihak, tokoh-tokoh dan organisasi dunia lebih banyak melakukan akrobat politik. Krisis Suriah tidak lebih sebagai komoditas politik untuk mewujudkan ambisi masing-masing. Barat, termasuk di dalamnya Rusia, kemudian China, Iran, dan tidak lupa negera-negara Arab, masing-masing hanya bertukar peran, untuk selanjutnya mengulur waktu bagi Bashar al Assad dan militernya dapat melanjutkan operasi genosida terhadap warganya yang mayoritas Sunni.
Inisiasi terakhir PBB dan Liga Arab lewat Kofi Annan, misalnya. Bagi sebagian pengamat dipandang tidak lebih daripada upaya untuk menyingkirkan Bashar dan keluarganya dari sorotan dunia dengan mempertahankan anasir-anasir pemerintahan lama yang notabene tangannya berlumuran darah rakyat Suriah. Setelah itu, memberi ruang kepada semua pihak oposisi dari luar untuk mengambil peran, sambil melupakan rakyat dan para mujahid yang selama ini berjuang dengan gigih menghadapi mortir Bashar.
Padahal, selain Bashar sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap petaka yang menimpa rakyat Suriah, terdapat anasir-anasir lain, khususnya kroni-kroni terdekat Bashar, yang juga harus diadili dan bertanggung jawab.
Di tengah “sandiwara” inisiasi dunia untuk penyelesaian krisis Suriah, rakyat dan para mujahid pembebasan khawatir bahwa revolusi mereka akan direbut. Mereka tidak mau “pahlawan kesiangan” tiba-tiba muncul setelah pengorbanan besar rakyat selama ini membela revolusi. Apalagi perkembangan kondisi di Suriah belakangan ini semakin memberi tanda-tanda dekatnya riwayat kekuasaan otoriter-militeristik Bashar akan berakhir.
Oleh karena itu, Hai’ah al-Syam al-Islamiyah (Komite Islam Syam), sebuah organisasi revolusioner yang lahir dan berjuang dari rahim rakyat Suriah, lewat biro politiknya, Rabu (04/07/2012) mengeluarkan mawqif siyasi (pernyataan politik) menanggapi berbagai inisiasi dunia yang kamuflase itu.
Pernyataan tersebut juga buat mengingatkan rakyat dan mujahid Suriah tentang cita-cita awal revolusi, dan agar mereka waspada terhadap setiap upaya untuk memetik buah revolusi.
Cita-cita revolusi sesungguhnya, menurut pernyataan tersebut, yang tidak bisa ditawar-tawar adalah menjatuhkan rezim yang ada. Cita-cita ini selain akan dan harus terus diperjuangkan, juga harus jelas dan definitif. Sehingga dapat diukur sejauhmana revolusi rakyat yang sedang berlangsung berhasil mewujudkan cita-citanya.
Rezim yang dimaksud adalah Bashar beserta semua orang yang berada dalam lingkaran terdekatnya.
“Presiden beserta orang-orang terdekatnya harus diturunkan dan diajukan ke pengadilan atas pelanggaran yang mereka lakukan lewat sebuah proses yang adil, dengan tidak membolehkan mereka untuk meninggalkan Suriah, atau mendapatkan suaka dalam bentuk apa pun dalam perjanjian dunia,” demikian tuntutan pertama dalam resolusi tersebut.
Selain Bahsar dan kroninya, rezim yang ada juga mencakup partai Ba’ats yang sosialis, yang selama ini merupakan sayap politik rezim untuk mengendalikan kehidupan politik dan sosial.
Lantaran itu, gerakan revolusi tidak boleh memberi peluang kepada tokoh-tokoh Ba’ats untuk terlibat dalam kehidupan politik pasca revolusi kelak. Dan sebelum itu, partai Ba’ats harus dibubarkan dan tokoh-tokohnya dibawa ke depan meja hijau untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka selama beberapa dekade berkuasa lewat sejumlah keistimewaan yang dimiliki partai Ba’ats.
Termasuk komponen rezim yang tidak boleh lolos adalah intelijen dan militer pemerintahan lama. Pihak inilah yang dalam satu tahun lebih revolusi menjadi eksekutor genosida Bashar terhadap rakyat Suriah.
Secara eksplisit resolusi tersebut menyebut sejumlah satuan yang harus bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban selama revolusi. Mereka antara lain Pasukan Khusus, Garda Republik, al Firaq al Mudarri’ah I, II, III, IX, XIV, dan XV.
Bashar mewarisi pemerintahan junta militer yang kompleks dari pendahulunya, Hafiz al Assad, yang juga bapaknya. Penguasa memiliki perangkat keamanan dan militer tersendiri yang terpisah dari lembaga keamanan dan militer resmi negara. Tidak heran jika anggaran belanja negara selama ini lebih banyak dialokasikan buat membiayai kepentingan militer.
Komponen rezim terakhir yang hendaknya menjadi target pencapaian revolusi ialah para mafia bisnis yang menguasai sendi-sendi perekonomian Suriah lewat ekonomi sosialis yang diterapkan di dalam negeri.
Sebagaimana bisa ditebak, mayoritas mafia bisnis itu berasal dari lingkaran keluarga istana, khususnya keluarga dari ibu Bashar, yaitu keluarga Makhluf. Di sebut dalam negeri karena pemerintahan otoriter Suriah justru membuka diri terhadap pasar dunia dengan mengandalkan regulasi yang dimudahkan bagi pihak asing.*
Artikelini adalah hasil kerjasama hidayatullah.com dengan majalah Al Bayan