Hidayatullah.com–Lahan seluas satu hektar dengan beberapa bangunan asrama dan mushallah, masing-masing dengan ukuran 8 X 6 itu dipenuhi para pengungsi. Tidak kurang dari 500 orang tinggal di tempat itu. Di luar bangunan itu berdiri beberapa tenda yang juga dipenuhi pengungsi. Total jumlahnya tidak kurang dari 2000 jiwa, dari sejumlah pengungsi yang tinggal di tempat itu, 25%-nya adalah anak-anak.
Kehidupan di tempat pengungsian Lhokngah akibat bencana tsunami tiga pekan lalu memang belum sepenuhnya memadai. Persoalan sanitasi, kebutuhan logistik dan kemungkinan munculnya penyakit di tempat pengungsian masih jadi persoalan. Namun itu semua tidak menghalangi penyelenggaranan pendidikan. Sebuah kesepakatan universal bahwa dalam keadaan darurat bagaimanapun– termasuk perang maupun bencana alam– layanan pendidikan kepada anak-anak tidak boleh berhenti.
Hari ini, Senin (10/1/05) anak-anak yang tinggal di pengungsian Lhokngah mulai mendapatkan pendidikan lagi, setelah tiga minggu mereka tinggal di tempat pengungsian. Mulai hari ini sekolah darurat di lokasi pengungsian itu diselenggarakan. Sebuah mushallah ukuran 8 X 7 meter persegi, ketika jam belajar dialih fungsikan menjadi kelas. Ada 20-an anak yang mengikuti pembelajaran di tempat itu.
Tempat lainnya adalah tenda-tenda berkapasitas 10 – 15 siswa yang memang dipersiapkan untuk kelas. Mereka menikmati suasana belajar meskipun dengan alas seadanya. Jumlahnya tidak banyak, hanya lima buah tenda. Selebihnya mereka belajar di bawah pohon. “Belajar dimanapun bisa, yang penting terhindar dari sengatan panas matahari,” kata Ustadz Abdul Harits, penanggung jawab di Kamp Pengungsian Lhokngah.
Menurut Harits, pendirian sekolah darurat harus memperhatikan keamanan, ketertiban dan kebersihan lingkungan, termasuk sanitasi dan air bersih. Agar pemulihan kegiatan belajar tidak terganggu. Disamping itu sekolah tenda harus dekat dengan lokasi pengungsian agar orang tua yang masih dihantui trauma kehilangan anggota keluarga tidak merasa dipisahkan dari anak-anaknya.
Untuk kelangsungan penyelenggaraan sekolah darurat ini, sejumlah guru sudah disiapkan. Empat tenaga guru dari Sekolah Integral Luqmanul Hakim Surabaya, sudah datang sepekan lalu, ditambah lagi lima orang tenaga guru dari Madrasah Marhamah Balikpapan juga tiba di tempat itu. “ Selain itu beberapa orang pengungsi yang ada di Lhokngah yang sebelumnya berprofesi menjadi guru juga turut mengajar mereka,” kata Asih Subagyo kordinator Posko Hidayatullah Peduli di Banda Aceh.
Menurut Asih, model pembelajaran yang berikan pada empat pekan ke depan dengan satu tujuan, rehabilitasi mental. Yakni menghilangkan trauma psikologis akibat bencana yang menimpa mereka. Intinya, bagaimana mengubah suasana Aceh yang menakutkan menjadi damai dan menyenangkan. Caranya pembelajaran dengan memperbanyak permainan. Pola seperti ini selama ini dikenal dengan pola Joy Learning.
“Kami juga melakukan model Pendidikan Integral Darurat untuk anak-anak yang ada di kelas 1-5 SD, 1-2 SMP dan 1-2 SMA. Sedangkan untuk kelas akhir seperti 6 SD, 3 SMP, 3 SMA model pembelajaran yang digunakan adalah model bimbingan belajar,” kata Asih. Menurutnya, pembelajaran model bimbingan belajar untuk kelas akhir ini diperlukan agar mereka tetap bisa mengikuti ujian akhir di sekolah yang menyelenggarakan kelak.
Namanya saja sekolah darurat, masih banyak kendala yang dihadapi dalam penyelenggaraan sekolah darutat ini. Misalnya alat tulis, buku pelajaran dan masih banyak lagi. “Kami menunggu bantuan dari masyarakat dan pemerintah,” tambah Asih Subagyo. (Har)