Hidayatullah.com–Menteri Agama Suryadarma Ali menegaskan bahwa dirinya yakin metode penghitungan dan penentuan hilal atau bulan dapat dipersatukan. “Menjadi satu metode penghitungan yang baku dan dapat digunakan seterusnya, sehingga ke depan tidak ada lagi perbedaan Idul Fitri,” tegas Menag dalam sambutannya pada Halal Bihalal dengan ulama se-Jawa Tengah di Semarang, Rabu (21/9).
Dikatakan Menag bahwa pokok persoalan mendasar adalah perbedaan pada posisi berapa derajat hilal itu dapat dilihat. “Ada yang 0,1 derajat, dua derajat, dan ada yang empat derajat. Pemerintah dan banyak ormas Islam, kecuali Muhammadiyah, berpegang atau berpatokan pada dua derajat. Sementara Muhammadiyah berpegang pada 0,1 derajat,” ucap Menag dalam acara yang dihadiri Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, KH Maemun Zuber serta ratusan alim ulama se-Jawa Tengah.
Menag juga mengatakan bahwa sebetulnya tidak ada perbedaan mendasar antara metode penghitungan hisab dan rukyat pada sisi keilmuannya. Perbedaannya terletak hanya pada posisi derajat tadi. Yaitu antara 0,1 derajat, dua derajat, dan ada yang empat derajat.
Beberapa hari lalu Kementerian Agama mengundang sejumlah tokoh ormas Islam untuk membahas metode penghitungan dan penentuan hilal tersebut. “Supaya tidak ada lagi perbedaan-perbedaan. Saya punya keyakinan bisa dipersatukan,” tegas Menag.
Guna membahas lebih lanjut, pada bulan November 2011 mendatang menurut Menag, pihaknya akan menggelar musyawarah alim ulama. “Dalam musyawarah itu kita samakan persepsi dan mencari satu kesatuan metode untuk menetapkan awal bulan secara bersama,” kata Menag.
Yang jelas, menurutnya, dalam mengatasi permasalahan apapun, memang dibutuhkan persatuan.
Pada kesempatan yang sama, Mbah Kyai Maemun Zuber mengakui memang terdapat keanehan-keanehan pada Idul Fitri yang baru saja berlalu. Dicontohkannya, misalnya Australia yang posisinya berada di Timur, justru Idul Fitri pada hari Selasa. Sementara Indonesia yang berada pada posisi lebih ke barat, malah berlebaran pada hari Rabu.
“Tapi ya itulah bhinneka tunggal ika. Perbedaan itu seni, yang satu sama lain membawa keindahan,” tegas Mbah Maemun.*